Sultan-Qaboos-Grand-Mosque-in-Muscat-Oman

Kamis, 03 Maret 2011

Belajar Kesederhanaan dari Seorang Fahri



Hanya ada sedikit dari kita yang ketika mengalami proses kenaikan tingkat-kesejahteraan yang tetap konsisten pada gaya hidup sederhana.

Kekayaan membuat kebanyakan manusia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Lupa pada kenyataan bahwa kita hidup di dunia hanya sementara saja. Laksana pendaki gunung yang numpang berteduh di pohon apel. Hanya sebentar saja sang pengembara itu singgah, untuk kemudian melanjutkan episode pengembaraannya. Hanya sekedarnya saja membawa bekal untuk mencapai tujuan akhir dari pengembaraannya, bukan malah membawa bekal apel sebanyak-banyaknya. Seolah lupa bahwa tujuan akhir perjalanannya adalah menuju puncak gunung. Bukan malah membawa berbakul-bakul apel dan beralih profesi menjadi pedagang apel.
Dia adalah pribadi luar biasa yang di dalam dirinya terdapat kepribadian yang kuat. Beberapa bulan setelah lulus Diploma III STAN spesialisasi Perpajakan, beliau magang di Bekasi, tempat keluarganya tinggal.Tak lama pula, beliau di tempatkan disana.
Mengingat orang-orang yang penempatan di pulau Jawa adalah orang-orang yang dengan IP terbaik diangkatannya, maka dapat dikatakan bahwa beliau mempunya IP yang terbaik pula walaupun belum tentu terbaik diantara yang terbaik.
Fahri, adalah orang yang sederhana. Terlihat dari apa yang ia kenakan, apa yang ia bawa, dan dimana ia biasa bergaul.
Pakaiannya adalah pakaian paling sederhana yang pernah saya lihat, sehingga warna dari pakaiannya pun sudah mulai luntur. Handphone yang ia bawa adalah HP jadul, yang jika harus mendapat sms ia harus mengorbankan sms lain yang lebih dahulu masuk, tak ada sms yang lama tersimpan karena kapasitas dari HP itu hanya mampu menampung beberapa sms saja. Sepeda motor yang ia pakai adalah warisan bapaknya. Sepeda motor itu jika dibawa lari kencang akan bergetar sekrup-sekrupnya dan menangis mesinnya. Jika bensin akan habis pun motor itu perlu diperlakukan khusus. Indra pendengaran kita harus berjalan dengan baik karena indikatornya jika tangki bensin tidak berbunyi “klotak-klotak” maka bensin aka segera habis.
Saya mengira, ini semua tidaklah berlangsung lama. Kita tunggu saja beberapa bulan lagi, karena Penghasilannya dua bulan saja sudah sanggup untuk membeli sepeda motor baru. Saya kira ia akan membeli sepeda motor dan handphone baru beberapa bulan lagi.
Ternyata salah, ia memilih memberangkatkan ayahnya Haji. Subhanallah, saya sangat malu menerka hal yang tidak baik pada Fahri.
Hingga kini, beliau sudah bekerja sekitar 4 tahun di salah satu Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bekasi dan gaya hidupnya tidak pernah berubah. Sepeda motornya masih setia menemani beliau kemanapun pergi. Mungkin bukan ia yang meninggalkan motornya namun motornya yang akan meninggalkannya nanti jika sendi-sendinya sudah tak kuat menopang dan mesinnya sudah tak saunggup berjalan. Handphonenya memang berganti, namun bukan iPhone atau BlackBerry yang ia beli, cukup HP biasa dengan harga terjangkau saja.
Hari ini kita belajar kesederhanaan dari seorang Fahri, PNS Ditjen Pajak yang terus berada pada jalur kesederhanaan.

Sumber : http://memetikmakna.wordpress.com/2010/08/17/belajar-kesederhanaan/