Sultan-Qaboos-Grand-Mosque-in-Muscat-Oman

Selasa, 31 Juli 2012

Boleh Membayar Zakat Tanpa Melalui ‘Amil

Oleh: M. Al-Amin, Tk. Sidi Mandaro
 

Berikut ini kami kutipkan keterangan tentang hal tersebut yang terdapat di dalam terjemahan Fiqih Sunnah jilid III, penerbit PT Al Ma’arif Bandung, cetakan ke-20, halaman 135 – 136:

Biasanya Rasulullah saw mengirim petugas-petugasnya buat mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik. Abu Bakar dan Umar juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi.53)

Tatkala datang masa pemerintahan Usman, seketika ia masih menempuh jalan tersebut. Tetapi waktu dilihatnya banyaknya harta-harta yang tersembunyi, sedang untuk mengumpulkannya menyulitkan, dan untuk menyelidikinya menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkannya kepada para pemilik harta itu sendiri.

Dan para fukaha telah sepakat, bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Berdasarkan riwayat Saib bin Yazid:

“Saya dengar Usman bin Affan berkhotbah di mimbar Rasulullah saw, katanya: ‘Ini adalah bulan pembayaran zakat! Maka siapa-siapa yang masih mempunyai utang di antara kamu, hendaklah dilunasinya utangnya hingga hartanya jadi bersih, maka dapat dibayarnya zakat’!”

(Diriwayatkan oleh Baihaqi, dengan isnad yang sah)

Berkata Nawawi: “Tidak terdapat pertikaian. Dan sahabat-sahabat kami menyampaikan tercapainya ijma’ dari kaum muslimin.”
-------------------------------------
53) Harta-harta yang jelas itu misalnya hasil tanaman, buah-buahan, ternak dan barang tambang, sedang yang tersembunyi, ialah barang dagangan, emas-perak dan harta karun

Kita tidak ragu bahwa gaji itu termasuk harta tersembunyi karena ia tersimpan dalam rekening sebuah bank, tidak bisa dengan mudah dilihat oleh orang lain.

Kemudian, di halaman 127 kita dapati juga keterangan sebagai berikut:

“… Jadi siapa yang mendapat kewajiban buat mengeluarkan zakat, lalu diserahkannya pada salah satu jenis dari golongan tersebut, maka ia telah melakukan apa yang dititahkan Allah kepadanya, dan bebaslah ia dari kewajiban.”
Dari keterangan-keterangan yang telah kami kutipkan di atas, kami rasa cukup jelaslah bagi kita bahwa membayar zakat secara langsung kepada orang yang berhak tanpa melalui ‘amil itu hukumnya adalah boleh dan sah.

Dari kutipan tersebut juga, ada beberapa hal lain yang bisa kita pahami, yaitu:

1)      Keberadaan ‘amil bukanlah suatu keharusan menurut syari’at.

Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang yang ingin membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya ‘amil tetap eksis (ada), apalagi dengan menyatakan bahwa Al-Quran atau hadits melarangnya padahal tidak ditemui satupun dalil dari Al-Quran atau hadits yang melarang pembayaran zakat secara langsung (tanpa melalui ‘amil) tersebut.

2)      Pembayaran zakat lewat ‘amil yang berlaku pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar adalah suatu kebiasaan saja pada masa itu, bukan menunjukkan hukum wajib.

Hal tersebut berlaku karena memang situasi dan kondisi pada masa itu yang membuatnya cocok dan perlu untuk diterapkan, seperti bahwa:

a)      Masa Rasulullah saw adalah masa pembentukan hukum. Kewajiban zakat mulai berlaku baru pada tahun ke-2 setelah hijrah. Tentu saja kewajiban yang baru itu perlu disosialisasikan. Perlu ada memang orang yang diutus untuk memberitahu, atau mengingatkan, atau sekaligus menjemputnya. Karena itulah diperlukan ‘amil. Selain itu, kalau pada masa itu pembayarannya diserahkan kepada pemilik masing-masing, dikhawatirkan akan banyak terjadi kesimpang-siuran. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi proses pembentukan hukum zakat.

b)      Pada masa Abu Bakar dan Umar belum banyak terdapat harta yang tersembunyi seperti yang diistilahkan oleh kutipan di atas. Sehingga kebiasaan membayar zakat lewat ‘amil pada masa pemerintahan mereka berdua tidak perlu diubah.

Sedangkan pada masa Usman, keadaan sudah berubah. Sudah banyak orang yang memiliki harta yang tersembunyi. Maka cara pembayaran zakat lewat amilpun tidak begitu digalakkan lagi. Kalau pembayaran zakat lewat ‘amil itu hukumnya wajib, tentunya Usman mau tidak mau harus tetap melakukannya. Tapi kenyataannya hal itu tidak terjadi.


3)    Untuk mewajibkan atau melarang sesuatu secara syariat, tidak bisa dengan semata-mata berdalil pada kebiasaan yang berlaku pada masa Rasulullah saw atau sahabatnya. Harus ada Sunnah Qauliyah (ucapan Nabi saw) atau ayat Al-Qur’an yang jelas-jelas mewajibkan atau melarangnya.

Kalau kebiasaan yang berlaku pada masa Rasul atau sahabat itu semata-mata menjadi dalil untuk mewajibkan atau melarang sesuatu, niscaya pada masa kini kita wajib melaksanakan shalat dengan memakai terompah di masjid, sebab hal itu lazim terjadi pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, sebagaimana yang tergambar pada hadits berikut ini:  
أنّّه صلى الله عليه و سلم صلى فخلع نعليه فخلع الناس نعالهم فلماانصرف قال: لما خلعتم؟ قالوا رأيناك خلعت فخلعنا، فقال: إن جبريل أتاني فأخبرني أن بهما خبثا فإذا جاء أحدكم المسجد فليقـلب نعـليه ولينظر فيهما، فـإن رأى خبثا فليمسحه بالأرض ثم لـْيُصَلِّ فيهما (رواه أحمد وأبو داود والحاكم وابن خبان وابن خزيمة وصححه)

Nabi saw sedang shalat, kemudian dibukanya kedua terompahnya. Maka orang-orangpun sama membuka terompah-terompah mereka pula. Dan ketika Nabi berpaling, beliau bertanya: “Kenapa kalian buka?” Ujar mereka: “Kami lihat Anda buka, maka kami buka pula.” Maka sabda Nabi saw: “Sungguh Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa pada kedua terompahku itu ada kotoran. Bila salah seorang di antaramu datang ke masjid, hendaklah ia membalik kedua terompahnya dan memperhatikannya. Bila dilihatnya ada kotoran, hendaklah digosokkannya ke tanah, lalu shalat dengan menggunakan kedua terompah itu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang menyatakan sahnya). 

Beliau saw dan para sahabat biasa melakukan shalat dengan memakai terompah di masjid hanyalah karena kondisi masjid pada saat itu yang hanya berlantai tanah atau alasan-alasan lainnya yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada masa itu. 

Mengenai Surat at-Taubah Ayat 103

Ayat tersebut berbunyi (lihat teksnya di al-Qur'an): 

103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dilihat dari asbabun nuzulnya (sebab turunnya), ayat ini tidak bercerita tentang masalah ‘amil. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya (ayat 102) yang bercerita tentang Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang menyesal karena tidak ikut berangkat jihad bersama Rasulullah saw padahal tidak ada suatu halangan apapun bagi mereka yang dapat dibenarkan untuk tidak ikut berperang. Ayat tersebut berbunyi: 

102. Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Untuk lebih jelasnya marilah kita simak keterangan yang terdapat dalam buku Asbabun Nuzul[1] tentang ayat 102 tersebut sebagai berikut:

“Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Rasulullah saw berangkat Jihad, Abu Lubabah dan lima orang kawannya meninggalkan diri. Abu Lubabah dan dua orang kawannya termenung dan menyesal atas perbuatannya, serta yakin akan bahaya yang akan menimpanya. Mereka berkata: Kita di sini bersenang-senang di bawah naungan pohon, hidup tenteram beserta istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum mukminin yang menyertainya sedang berjihad. Demi Allah, kami akan mengikat diri pada tiang-tiang dan tidak akan melepaskan talinya kecuali dilepaskan oleh Rasulullah.” Kemudian mereka melaksanakannya, sedang yang tiga orang lagi tidak berbuat demikian. Ketika pulang dari medan jihad, Rasulullah bertanya: “Siapakah yang diikat di tiang-tiang itu?” Berkatalah seorang laki-laki: “Mereka itu Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak ikut ke medan perang beserta tuan. Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri mereka kecuali jika tuan yang melepaskannya.” Bersabdalah Rasulullah saw: “Aku tidak akan melepaskan mereka sebelum aku mendapat perintah (dari Allah).” Maka turunlah ayat ini (Q.S. 9 Bara-ah: 102)[2] yang mengampuni dosa mereka. Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah saw melepaskan ikatan dan memberi maaf kepada mereka…

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dan Ibnu Abi Hatim, dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu Abbas
Demikianlah asbabun nuzul surat at-Taubah ayat 102. Sedangkan asbabun nuzul ayat 103-nya adalah sebagai berikut[3]: 

“…Abu Lubabah bersama kedua temannya, setelah dilepaskan, datang menghadap Rasulullah saw dengan membawa harta bendanya, seraya berkata: “Ya Rasulallah! Ini adalah harta benda kami, sedekahkanlah atas nama kami, dan mintakanlah ampunan bagi kami.” Rasulullah saw menjawab: “Aku tidak diperintah untuk menerima harta sedikitpun.” Maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S. 9 Bara-ah: 103) yang memerintahkan untuk menerima sedekah mereka dan mendoakan mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu jarir dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.

Dan diriwayatkan pula, seperti riwayat yang dikemukakan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah tersebut, oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair, adl-Dlahhak, Zaid bin Aslam dan lain-lain.

Jadi jelas bahwa secara asbabun nuzul, ayat itu turun tidak berkenaan dengan ‘amil. Namun para ulama telah menggunakan ayat tersebut sebagai dalil untuk memungut zakat. Dalam tafsir al-Misbah, karya Quraisy Syihab, tentang ayat ini dijelaskan bahwa ada ulama yang menghukumi wajib bagi para penguasa untuk memungut zakat kepada rakyatnya, tetapi mayoritas ulama—menurut tafsir tersebut—hanya menghukumi sunnat saja.[4]


Keimpulan: 

1)    Membayar zakat secara langsung kepada orang yang berhak (mustahik) tanpa melalui ‘amil hukumnya adalah boleh dan sah. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk melarangnya apalagi mengharamkannya.
2)     Keberadaan ‘amil bukanlah suatu keharusan secara syariat. Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang yang ingin membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya ‘amil tetap eksis (ada).
Jika membayar zakat lewat ‘amil dipandang lebih baik, maka yang boleh dilakukan adalah menganjurkannya dengan cara yang baik pula.
Demikianlah tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishowab...

*Selesai ditulis pada hari Senin, 11 Juli 2011 pkl 13.15. wib.




[1] K.H.Q Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul Latar belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alqur’an, Edisi II, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000), hlm. 278-279.

[2] Surat Bara-ah adalah nama lain dari surat at-Taubah.

[3] Ibid. hlm. 279.

[4] Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat langsung kepada tafsir al-Misbah tersebut.

Senin, 30 Juli 2012

Opor Ayam


Bahan:
1 ekor ayam, potong menjadi 20 bagian
1500 ml santan cair
500 ml santan kental
5 sdm minyak goreng

Bumbu:
10 butir bawang merah, haluskan
7 siung bawang putih, haluskan
6 butir kemiri, haluskan
3 cm jahe, memarkan
2 batang serai, memarkan
3 cm lengkuas, memarkan
1 lembar daun salam
3 lembar daun jeruk purut
1 sdm air asam jawa
1 sdt gula pasir
1 sdt jintan, sangrai, haluskan
1 sdt ketumbar, sangrai, haluskan
2 sdm bawang merah goreng
½ sdt lada halus
1 sdt garam halus

Cara Membuat:
1. Lumuri potongan daging ayam dengan air asam dan garam, diamkan selama 20 menit agar bumbu meresap.
2. Panaskan minyak, tumis bawang merah, bawang putih, serai, lengkuas, jahe dan bumbu-bumbu lainnya hingga harum. Masukkan potongan daging ayam, masak sambil diaduk-aduk hingga ayam berubah warna.
3. Tuang santan cair, masak hingga santan tinggal separuhnya dan ayam matang. Tambahkan santan kental, masak sambil sesekali diaduk-aduk hingga kuah mengental. Angkat.
4. Siapkan pinggan saji. Tuang opor ayam dan taburi bawang merah goreng. Sajikan hangat.

Untuk 10 Porsi
Tips: Masak opor sambil sesekali diaduk-aduk agar santan tidak pecah

Resep Sambal Goreng Kentang Udang Pete


Kalau Anda bingung masak hari ini apa, mungkin bisa coba resep Sambal Goreng Kentang Pete Udang dibawah ini. Selain enak, yang pasti penyuka seafood akan menikmati adanya udang dan kentang merupakan kombinasi yang asyik untuk dinikmati sebagai santapan makan yang gurih dan lezat. Paling enak bila sambal goreng disajikan dengan nasi hangat, krupuk dan kuluban (sayuran rebus).

Bahan-bahan

  • 200 gr udang, bersihkan kepala & ekornya
  • 250 gr kentang, kupas & potong dadu, goreng setengah kering
  • 1 lembar daun salam
  • 2 cm lengkuas, geprak
  • 100 santan kental
  • 3 sdm minyak
  • Pete secukupnya

Blender halus

  • 3 buah cabe merah (plus cabe rawit secukupnya kalo doyan pedes)
  • 3 siung bawang putih, tumis setengah matang
  • 1 buah tomat matang ukuran kecil aja, tumis setengah matang
  • 1 cm lengkuas muda, cincang
  • 1/3 sdt terasi goreng

Bumbu-bumbu

  • ½ sdt garam ato secukupnya
  • 1 sdm gula merah ato secukupnya
  • 2 sdt air jeruk nipis

Cara Membuat

  1. Panaskan minyak, tumis udang sampe setengah matang.
  2. Masukkan bumbu halus, daun salam dan lengkuas. Tumis hingga wangi dan agak kering.
  3. Tuang santan, tambahkan bumbu. Didihkan hingga kental, masukkan kentang goreng.
  4. Kecilkan api, aduk rata, masukan pete dan teruskan memasak sampai kuah menyusut setengah kering.
  5. Angkat, sajikan dengan nasi hangat, krupuk dan sayuran rebus.

Selamat menikmati sambal goreng kentang udang.

Fatwa Seputar Zakat Profesi

Kategori: Fiqh dan Muamalah

Menanggapi masukan dari pembaca muslim.or.id di Jakarta, menyatakan perlunya menampilkan bahasan tentang zakat profesi mengingat begitu maraknya pembicaraan tentang zakat ini dengan tidak disertai pemahaman dan ilmu yang mendasarinya. Berikut ini kami nukilkan fatwa-fatwa ulama berkaitan dengan zakat profesi diambil dari Majalah As-Sunnah edisi 006 tahun VIII 1424 H dikarenakan mendesaknya pembahasan tentang hal tersebut.

Zakat Gaji

Soal:
Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)?

Jawab:
Bukanlah hal yang meragukan, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.

Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebagai persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.

Berdasarkan itu maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.

Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Ketua:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Mani’

Soal:
Saya seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dalam negeri. Gaji saya setiap bulan sebesar empat ribu riyal saudi. Termasuk uang sewa rumah sebesar seribu riyal Saudi. Apakah saya wajb mengeluarkan zakat harta? Jika wajib, berapakah jumlahnya? Perlu diketahui, bahwa tidak ada pemasukan sampingan bagi saya, kecuali gaji tersebut.

Jawab:
Apabila anda telah memiliki kecukupan atau kelebihan dari gaji bulanan Anda tersebut, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab. Yaitu sekitar empat ratus riyal Saudi. Hal itu jika jumlah nishab tersebut telah berlalu satu haul (satu tahun). Apabila anda menyisihkan sejumlah uang dari gaji bulanan untuk ditabung, maka yang terbaik dan paling selamat adalah Anda mengeluarkan zakat dari uang yang Anda tabung itu pada bulan tertentu setiap tahunnya. Jumlahnya adalah dua setengah persen dari harta yang dimiliki. Semoga Allah memberi taufik kepada kita. (Fatwa Syaikh Bin Jibrin).

Zakat dari Gaji yang Sering Terpakai

Soal:
Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadangmasih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya?

Jawab:
Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.

Tetapi, apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik saja Insya Allah.

Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Ketua:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Zakat Harta dari Sumber yang Berbeda-Beda

Soal:
Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul?

Jawab:
Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent).

Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya.

Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal di antara kaidah yang ada dalam Islam adalah:

“……Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan……” (Qs. al Hajj: 78)

Sebab, seseorang – terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang – akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya: hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun. Demikian seterusnya…, tentu hal itu akan sangat menyulitkan. (Fatwa Syaikh al Bani dari majalah as Shalah no. 5/15 Dzulhijjah 1413 dalam rubrik soal-jawab)

Soal:

1) Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?

2) Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan di lemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan, akan tetapi dengan jumlah yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan di muka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?

Jawab:
Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Da’imah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia), memandang perlu memberikan jawaban secara menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata.

Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat), kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang pertama, tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah (seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hi ah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya).

Apabila ia ingin teliti menghitung haknya dan ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar perhitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul(satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya, ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada setiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikian harta tersebut.

Namun, apabila ia ingin enak dan menempuh cara longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir miskin serta seluruh golongan penerima zakat.

Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab), uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul.

Lajnah Da’imah li al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’

Wakil ketua Lajnah:
Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah

Anggota:
Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
Syaikh Abdullah bin Mani’

Zakat dari Harta yang disiapkan untuk Pernikahan (Suatu Keperluan)

Soal:
Saya adalah seorang pegawai di salah satu kantor pemerintahan (pegawai negeri). Setiap bulan saya menerima gaji sebesar empat ribu riyal. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, saya telah mengumpulkan uang sebanyak tujuh belas ribu riyal. Saya simpan uang tersebut di sebuah bank syari’at. Pada bulan Syawal, uang itu akan saya gunakan untuk biaya pernikahan- Insya Allah. Bahkan, saya terpaksa meminjam uang berkali-kali lebih banyak dari jumlah tabungan saya itu untuk keperluan acara pernikahan. Pertanyaan saya, apakah uang tabungan saya sebesar tujuh belas ribu riyal itu harus dibayarkan zakatnya? Sebagaimana dimaklumi, uang tersebut telah berlalu satu haul. Jika wajib dikeluarkan, berapakah jumlahnya?

Jawab:
Anda wajib mengeluarkan zakat dari uang tabungan anda itu. Sebab telah berlalu satu haul atasnya. Sekalipun anda menyiapkan uang itu untuk biaya nikah, untuk membayar hutang ataupun untuk renovasi rumah dan keperluan lainnya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang berkenaan zakat emas dan perak serta yang sejenis dengan keduanya. Jumlah yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen. Yaitu dua puluh lima riyal untuk setiap seribu riyal. (Syaikh bin Baz)

Soal:
Apakah uang tabungan dari gaji bulanan wajib dikeluarkan zakatnya? Sementara sudah sempurna satu haul atasnya. Perlu juga diketahui, bahwa uang tersebut tidak dibungakan dan akan digunakan untuk nafkah keluarga. Apakah wajib dikeluarkan zakatnya?

Jawab:
Benar, wajib dikeluarkan zakatnya jika telah sempurna satu haul. Sebab setiap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan harus diniatkan untuk perniagaan. Oleh sebab itu pula, buah-buahan dan biji-bijian wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun tidak dipersiapkan untuk diperdagangnkan. Hingga sekiranya seseorang memiliki beberapa pohon kurma di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri dan hasil buahnya telah mencapai nishab, tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula halnya, hasil pertanian dan lainnya yang wajib dibayarkan zakatnya. Begitu pula binatang ternak yang digembalakn di tempat-tempat penggembalaan, wajib dibayarkan zakatnya meskipun si pemilik tidak mempersiapkannya untuk diperjualbelikan.

Hasil tabungan dari gaji bulanan yang dipersiapkan untuuk nafkah juga wajib dikeluarkan zakatnya, bila telah mencukupi satu haul dan mencapai nishab.

Namun dalam hal ini, ada permasalahan rumit bagi kebanyakan orang. Uang yang mereka terima dari gaji bulanan atau dari penyewaan rumah atau toko yang harganya naik setiap bulan atau sejenisnya, disimpan dalam tabungan atau di bank. Kadang kala ia memasukkan uang dan kadangkala mengambilnya, sehingga sulit baginya menentukan manakah yang telah berlalu satu haul dari uang tabungannya itu.

Dalam kondisi demikian – menurut pendapat kami – bila sepanjang satu tahun tersebut uang tabungannya tidak kurang dari jumlah nishab, maka yang terbaik baginya ialah menghitung haul mulai dari awal jumlah uang tabungannya mencapai nishab. Kemudian mengeluarkan zakatnya bila telah genap satu haul.

Dengan demikian, ia telah mengeluarkan zakat uang tabungannya, baik yang sudah genap satu haul maupun yang belum. Dalam kondisi ini, uang tabungan yang belum genap satu haul, terhitung telah didahulukan zakatnya. Mendahulukan pembayaran zakat tentunya dibolehkan. Cara seperti ini tentu lebih mudah daripada setiap bulan menghitung haul uang tabungan. (Syaikh Ibn Utsaimin)

***

Dipublikasikan ulang oleh www.muslim.or.id

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fatwa-seputar-zakat-profesi.html

Zakat Profesi


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.


Latar belakang

Adapun orang orang yang mensyariatkan zakat profesi memiliki alasan sebagai berikut:

Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.

Referensi dari Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al Baqarah ayat 267:

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"

Waktu Pengeluaran

Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi:

  1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
  2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
  3. Pendapat ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen. (haul:lama pengendapan harta)

Nisab

Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000. Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun.

Kadar Zakat

Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah:

“Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Perhitungan Zakat

Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:

  1. Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
  2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.