Sultan-Qaboos-Grand-Mosque-in-Muscat-Oman

Rabu, 28 November 2012

Hukum Meminta Jabatan dan dalil-dalilnya


20 Mei 2012 oleh Radio Dakwah Al Abror

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu yang artinya:

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari Muslim)

Masih berkaitan dengan pemasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “ Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda yang artinya:

“Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untuk-mu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim”. (HR. Muslim)

Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.

“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”. (HR. Bukhari)

Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi pada manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.

Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal ambisinya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.

Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/`135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”

Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat, kecuali siksa dan adzab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik1142 itu hanya untuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (al-Qashash: 83)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan yang artinya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/142)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah yang artinya: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)

Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hayalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkanya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.

Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang ingin menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda yang artinya:

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusakan daripada seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan

Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya:

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. (HR. Bukhari)

Selain itu jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:

“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. (HR. Bukhari-Muslim)

Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaanya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas: “Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari 13/133, Nailul Authar, 8/294)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan darinya, demikian pula para ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 12/210-211)

Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan nabi Yusuf kepada penguasa Mesir yang artinya:

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. (Yusuf: 55)

Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Kalimirrahman, hal. 401)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi Yusuf meminta demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)

Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian”. (Fathul Bari, 13/134)

Wallahu ‘alamu bish-shawab.

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari

Meraih Jabatan


Memang jabatan adalah sesuatu yang sangat menggiurkan setiap manusia. Karena disitulah terdapat kamasyhuran, ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi. Karena itu wajarlah ketika Rasulullah saw menyebutkan bahwa tidaklah dua ekor srigala lapar yang dilepas kepada kerumunan kambing lebih merusak agama daripada ambisi seseorang terhadap harta dan jabatan.” (HR. Tirmidzi) dan Tirmidzi mengatakan,”ini adalah hadits hasan shahih)

Dan tidak jarang ambisi seseorang terhadap jabatan menutupi akal sehatnya bahkan meredupkan keimanannya kepada Allah swt. Banyak mengajar jabatan dengan cara-cara yang diharamkan agama, seperti suap, menzhalimi kompetitornya, membohongi rakyatnya atau yang lainnya. Sangat mungkin mereka yang melakukannya mengetahui betul bahwa itu semua diharamkan dan dilarang oleh agama. Lalu mengapa mereka tetap melakukannya? Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah Maha Melihat? Apakah mereka tidak meyakini bahwa kelak mereka akan ditanya oleh Allah azza wa jalla?

Jabatan adalah amanah yang kebanyakan orang tidak mampu menunaikannya dengan baik kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu oleh Allah swt. Karena itu islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.

Rasulullah saw tidaklah memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya karena itu adalah tanda ambisiusnya, yang kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Wahai Abdurrahman janganlah kamu meminta imaroh (jabatan, kepemimpinan). Sesungguhnya jika engkau diberikannya karena memintanya maka engkau tidak akan dibantu.” (HR. Bukhori)

Al Hafizh Ibnu hajar mengatakan bahwa makna dari hadits diatas adalah siapa yang meminta jabatan dan diberikan kepadanya maka dia tidak akan dibantu dikarenakan ambisinya. Arti dari itu adalah bahwa meminta apa-apa yang berkaitan dengan hukum adalah makruh, termasuk didalam imaroh adalah hakim, pengawas dan lainnya. Dan bahwasanya siapa yang berambisi dengan hal itu tidaklah akan dibantu.

Selanjutnya Al Hafizh mengutip hadits Abi Musa,”Sesungguhnya kami tidaklah mengangkat pemimpin dari orang yang ambisi” karena itu selanjutnya beliau mengungkapkan kata “pertolongan”. Maka sesungguhnya siapa yang tidak mendapatkan pertolongan dari Allah didalam amalnya maka amal itu tidaklah cukup oleh karena itu tidak sepatutnya menyambut permintaannya. Sebagaimana diketahui bahwa kepemimpinan tidaklah kosong dari kesulitan. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan pertolongan maka ia akan mendapat kesulitan dan kerugian di dunia dan akherat. Dan barangsiapa yang memiliki akal maka ia tidaklah bersikeras untuk memintanya akan tetapi jika ia memiliki kemampuan dan diberikan tanpa memintanya maka sungguh Rasulullah saw menjanjikan pertolongan-Nya dan didalamnya terdapat keutamaan. Al Muhallab mengatakan bahwa terdapat penafsiran tentang pertolongan didalam hadits Bilal bin Mirdas dari Khaitsamah dari Anas,”Barangsiapa yang meminta kepemimpinan dan meminta bantuan melalui para perantara maka semuanya diserahkan kepadanya (tidak dibantu, pen). Dan barangsiapa yang tidak menyukai hal itu maka Allah akan turunkan malaikat yang akan memandunya.” Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir.

Selanjutnya al Muhallab mengatakan bahwa makna “tidak menyukai hal itu” adalah orang itu memganggap bahwa dirinya bukanlah ahlinya dalam jabatan tersebut karena khawatir dan takut terjatuh didalam perkara-perkara yang diharamkan dan jika orang itu memegang jabatan maka dia akan ditolong dan diarahkan. Pada dasarnya barangsiapa yang tawa’dhu (merendahkan dirinya) dihadapan Allah maka Allah akan mengangkatnya. Ibnut Tiin mengatakan bahwa itulah makna yang paling dominan. Sedangkan perkataan Yusuf : “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir)” (QS. Yusuf : 55) dan perkataan Sulaiman : “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shaad : 35) mengandung kemungkinan bahwa maksud diatas semua adalah terhadap selain para Nabi. (Fathul Bari juz XIII hal 146 – 147)

Terhadap perkataan Nabi Yusuf diatas, Sayyid Qutb mengatakan bahwa Yusuf tidaklah meminta untuk dirinya sendiri, dia melihat bahwa memegang kekuasaan dan meminta untuk dijadikan sebagai bendaharawan negara merupakan sikap bijaksananya didalam memilih waktu yang mengharuskannya untuk itu, memikul suatu kewajiban yang sulit dan berat, mengemban beban berat pada waktu-waktu yang sangat sulit. Dia menjadi orang yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat seluruhnya demikian pula orang-orang yang ada di sekitar negerinya selama tujuh tahun tanpa ada tanaman dan binatang ternak. Kedudukan yang diminta itu bukanlah untuk diri Yusuf sendiri, sesungguhnya memenuhi kebutuhan pangan setiap rakyatnya yang kelaparan selama tujuh tahun secara terus menerus menjadikan tidak seorang pun yang mengatakan bahwa jabatan itu adalah keberuntungan baginya.

Sesungguhnya jabatan itu adalah beban berat yang setiap orang lari darinya dikarenakan hal itu telah dipikul oleh para pemimpin mereka seblumnya sementara kelaparan bisa menjadikannya kafir. Sungguh masyarakat yang lapar telah tercabik-cabik jasadnya didalam berbagai pemandangan kekufuran dan kehilangan akal. (Fii Zhilalil Qur’an juz V hal 2005)

Dengan demikian meminta agar dijadikan pemimpin, pejabat negara, hakim, atau segala bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup publik maupun khusus (terbatas) termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi sementara keadaan tidaklah mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan masih banyaknya orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tugas itu maka hal itu adalah bukti ambisi dan syahwatnya sehingga tidak diperbolehkan.

Dan hal itu dibolehkan manakala tidak ada lagi orang yang menginginkannya atau tidak ada yang sanggup mengemban amanah jabatan itu dan dikhawatirkan instansi yang bersangkutan akan bangkrut atau mengalami kerugian atau para karyawannya terancam kehilangan pekerjaan atau sejenisnya sehingga keterpaksaanlah yang menuntutnya untuk meminta agar dijadikan pemimpin atau manager di perusahaan itu dengan tetap meniatkan semua itu karena Allah swt dan untuk kepentingan bersama bukan kepentingan pribadinya.

Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf as meskipun dia meminta agar dijadikan bendaharawan Negara akan tetapi Allah swt tetap mengatakan bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang ikhlas didalam firman-Nya :

إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Artinya : “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih (ikhlas).” (QS. Yusuf : 24) Sehingga orang yang seperti ini layak mendapatkan bantuan dan pertolongannya dari Allah swt karena bersih dari berbagai ambisi dan syahwat kepemipinan atau kekuasaan.

Adapun seeorang yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin atau seorang staf yang bercita-cita untuk menjadi seorang manager tentunya berbeda dengan seorang yang meminta jabatan kepemimpinan.

Cita-cita bisa menjadi harapan manakala orang itu mengikutinya dengan berbagai usaha dan upaya keras untuk menggapainya. Tentunya bagi seorang muslim semua upaya itu ditempuhnya dengan cara-cara yang dibenarkan menurut agama bukan dengan cara-cara yang dilarangnya. Namun cita-cita itu akan hanya menjadi angan-angan manakala orang itu tidak pernah berusaha dan berupaya untuk menggapainya, sebagaimana ungkapan yang mengatakan,”Siapa yang berusah keras maka ia akan mendapatkan hasilnya.”

Atau sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :

Artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi : 110)

Pada dasarnya permasalahan bukanlah pada jabatan atau kepemimpinan itu sendiri akan tetapi pada cara untuk mendapatkannya. Seperti halnya orang yang bercita-cita menikah dengan seorang wanita cantik. Tentunya tidak seorang pun menyalahkan cita-cita orang ini karena hal itu termasuk perkara yang dibolehkan atau tidak dilarang. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan baginya adalah berusaha mencarinya dengan cara-cara yang dilarang atau diharamkan agama maka pernikahan orang itu kelak tidak akan mendapat keberkahan dari Allah swt dan jauh dari bantuan-Nya dalam setiap permasalahan di rumah tangganya. Akan tetapi jika orang itu mendapatkannya dengan cara-cara yang dibenarkan dan dihalalkan agama maka pernikahannya kelak akan diberkahi dan ditolong oleh-Nya.

Hal lainnya, bahwa cita-cita adalah mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang akan datang atau belum terjadi pada saat ia mencita-citakannya sehingga tidaklah bisa diberikan hukum atasnya berbeda dengan meminta jabatan maka ia adalah perbuatan yang terjadi pada sat memintanya sehingga sudah bisa diberikan hukum atasnya apakah ia dibolehkan atau dilarang.

Wallahu A’lam