Sultan-Qaboos-Grand-Mosque-in-Muscat-Oman

Rabu, 28 November 2012

Hukum Meminta Jabatan dan dalil-dalilnya


20 Mei 2012 oleh Radio Dakwah Al Abror

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu yang artinya:

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari Muslim)

Masih berkaitan dengan pemasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “ Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda yang artinya:

“Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untuk-mu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim”. (HR. Muslim)

Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.

“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”. (HR. Bukhari)

Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi pada manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.

Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal ambisinya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.

Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/`135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”

Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat, kecuali siksa dan adzab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik1142 itu hanya untuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (al-Qashash: 83)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan yang artinya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/142)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah yang artinya: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)

Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hayalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkanya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.

Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang ingin menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda yang artinya:

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusakan daripada seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan

Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya:

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. (HR. Bukhari)

Selain itu jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:

“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. (HR. Bukhari-Muslim)

Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaanya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas: “Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari 13/133, Nailul Authar, 8/294)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan darinya, demikian pula para ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 12/210-211)

Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan nabi Yusuf kepada penguasa Mesir yang artinya:

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. (Yusuf: 55)

Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Kalimirrahman, hal. 401)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi Yusuf meminta demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)

Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian”. (Fathul Bari, 13/134)

Wallahu ‘alamu bish-shawab.

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar