Oleh: M. Al-Amin, Tk. Sidi Mandaro
Berikut ini kami kutipkan keterangan tentang hal tersebut yang terdapat di
dalam terjemahan Fiqih Sunnah jilid III, penerbit PT Al Ma’arif Bandung,
cetakan ke-20, halaman 135 – 136:
Biasanya Rasulullah saw
mengirim petugas-petugasnya buat mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya
kepada para mustahik. Abu Bakar dan Umar juga melakukan hal yang sama, tidak
ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi.53)
Tatkala datang masa
pemerintahan Usman, seketika ia masih menempuh jalan tersebut. Tetapi waktu
dilihatnya banyaknya harta-harta yang tersembunyi, sedang untuk mengumpulkannya
menyulitkan, dan untuk menyelidikinya menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka
pembayaran zakat itu diserahkannya kepada para pemilik harta itu sendiri.
Dan para fukaha telah
sepakat, bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik
itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi.
Berdasarkan riwayat Saib bin Yazid:
“Saya dengar Usman bin Affan berkhotbah di mimbar Rasulullah saw, katanya:
‘Ini adalah bulan pembayaran zakat! Maka siapa-siapa yang masih mempunyai utang
di antara kamu, hendaklah dilunasinya utangnya hingga hartanya jadi bersih,
maka dapat dibayarnya zakat’!”
(Diriwayatkan oleh
Baihaqi, dengan isnad yang sah)
Berkata Nawawi: “Tidak
terdapat pertikaian. Dan sahabat-sahabat kami menyampaikan tercapainya ijma’
dari kaum muslimin.”
-------------------------------------53) Harta-harta yang jelas itu misalnya hasil tanaman, buah-buahan, ternak dan barang tambang, sedang yang tersembunyi, ialah barang dagangan, emas-perak dan harta karun
Kita tidak ragu bahwa gaji itu termasuk harta tersembunyi karena ia
tersimpan dalam rekening sebuah bank, tidak bisa dengan mudah dilihat oleh
orang lain.
Kemudian, di halaman 127 kita dapati juga keterangan sebagai berikut:
“… Jadi siapa yang
mendapat kewajiban buat mengeluarkan zakat, lalu diserahkannya pada salah satu
jenis dari golongan tersebut, maka ia telah melakukan apa yang dititahkan Allah
kepadanya, dan bebaslah ia dari kewajiban.”
Dari keterangan-keterangan yang telah kami kutipkan di atas, kami rasa
cukup jelaslah bagi kita bahwa membayar zakat secara langsung kepada orang yang
berhak tanpa melalui ‘amil itu hukumnya adalah boleh dan sah.
Dari kutipan tersebut juga, ada beberapa hal lain yang bisa kita pahami,
yaitu:
1) Keberadaan ‘amil
bukanlah suatu keharusan menurut syari’at.
Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang yang ingin
membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya ‘amil tetap
eksis (ada), apalagi dengan menyatakan bahwa Al-Quran atau hadits melarangnya
padahal tidak ditemui satupun dalil dari Al-Quran atau hadits yang melarang
pembayaran zakat secara langsung (tanpa melalui ‘amil) tersebut.
2) Pembayaran zakat lewat
‘amil yang berlaku pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar adalah suatu
kebiasaan saja pada masa itu, bukan menunjukkan hukum wajib.
Hal tersebut berlaku karena memang situasi dan kondisi pada masa itu yang
membuatnya cocok dan perlu untuk diterapkan, seperti bahwa:
a) Masa Rasulullah saw adalah masa
pembentukan hukum. Kewajiban zakat mulai berlaku baru pada tahun ke-2 setelah
hijrah. Tentu saja kewajiban yang baru itu perlu disosialisasikan. Perlu ada
memang orang yang diutus untuk memberitahu, atau mengingatkan, atau sekaligus
menjemputnya. Karena itulah diperlukan ‘amil. Selain itu, kalau pada masa itu
pembayarannya diserahkan kepada pemilik masing-masing, dikhawatirkan akan
banyak terjadi kesimpang-siuran. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi
proses pembentukan hukum zakat.
b) Pada masa Abu Bakar dan Umar belum banyak
terdapat harta yang tersembunyi seperti yang diistilahkan oleh kutipan di atas.
Sehingga kebiasaan membayar zakat lewat ‘amil pada masa pemerintahan mereka
berdua tidak perlu diubah.
Sedangkan pada masa
Usman, keadaan sudah berubah. Sudah banyak orang yang memiliki harta yang
tersembunyi. Maka cara pembayaran zakat lewat amilpun tidak begitu digalakkan
lagi. Kalau pembayaran zakat lewat ‘amil itu hukumnya wajib, tentunya Usman mau
tidak mau harus tetap melakukannya. Tapi kenyataannya hal itu tidak terjadi.
3) Untuk mewajibkan atau
melarang sesuatu secara syariat, tidak bisa dengan semata-mata berdalil pada
kebiasaan yang berlaku pada masa Rasulullah saw atau sahabatnya. Harus ada Sunnah
Qauliyah (ucapan Nabi saw) atau ayat Al-Qur’an yang jelas-jelas mewajibkan
atau melarangnya.
Kalau kebiasaan yang berlaku pada masa Rasul atau sahabat itu semata-mata
menjadi dalil untuk mewajibkan atau melarang sesuatu, niscaya pada masa kini
kita wajib melaksanakan shalat dengan memakai terompah di masjid, sebab hal itu
lazim terjadi pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, sebagaimana yang
tergambar pada hadits berikut ini:
أنّّه صلى الله عليه و
سلم صلى فخلع نعليه فخلع الناس نعالهم فلماانصرف قال: لما خلعتم؟ قالوا رأيناك
خلعت فخلعنا، فقال: إن جبريل أتاني فأخبرني أن بهما خبثا فإذا جاء أحدكم المسجد
فليقـلب نعـليه ولينظر فيهما، فـإن رأى خبثا فليمسحه بالأرض ثم لـْيُصَلِّ فيهما (رواه أحمد وأبو داود والحاكم وابن خبان وابن خزيمة وصححه)
Nabi saw sedang shalat, kemudian dibukanya kedua terompahnya. Maka
orang-orangpun sama membuka terompah-terompah mereka pula. Dan ketika Nabi
berpaling, beliau bertanya: “Kenapa kalian buka?” Ujar mereka: “Kami lihat Anda
buka, maka kami buka pula.” Maka sabda Nabi saw: “Sungguh Jibril datang
kepadaku dan memberitahukan bahwa pada kedua terompahku itu ada kotoran. Bila
salah seorang di antaramu datang ke masjid, hendaklah ia membalik kedua
terompahnya dan memperhatikannya. Bila dilihatnya ada kotoran, hendaklah
digosokkannya ke tanah, lalu shalat dengan menggunakan kedua terompah itu.”
(H.R. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang menyatakan
sahnya).
Beliau saw dan para sahabat biasa melakukan shalat dengan memakai terompah
di masjid hanyalah karena kondisi masjid pada saat itu yang hanya berlantai
tanah atau alasan-alasan lainnya yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada
masa itu.
Mengenai Surat at-Taubah Ayat 103
Ayat tersebut berbunyi (lihat teksnya di al-Qur'an):
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.
Dilihat dari asbabun nuzulnya (sebab turunnya), ayat ini tidak bercerita
tentang masalah ‘amil. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya (ayat 102)
yang bercerita tentang Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang menyesal karena
tidak ikut berangkat jihad bersama Rasulullah saw padahal tidak ada suatu
halangan apapun bagi mereka yang dapat dibenarkan untuk tidak ikut berperang.
Ayat tersebut berbunyi:
102. Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Untuk lebih jelasnya marilah kita simak keterangan yang terdapat dalam buku
Asbabun Nuzul[1]
tentang ayat 102 tersebut sebagai berikut:
“Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Rasulullah saw berangkat Jihad,
Abu Lubabah dan lima orang kawannya meninggalkan diri. Abu Lubabah dan dua
orang kawannya termenung dan menyesal atas perbuatannya, serta yakin akan
bahaya yang akan menimpanya. Mereka berkata: Kita di sini bersenang-senang di
bawah naungan pohon, hidup tenteram beserta istri-istri kita, sedangkan
Rasulullah beserta kaum mukminin yang menyertainya sedang berjihad. Demi Allah,
kami akan mengikat diri pada tiang-tiang dan tidak akan melepaskan talinya
kecuali dilepaskan oleh Rasulullah.” Kemudian mereka melaksanakannya, sedang
yang tiga orang lagi tidak berbuat demikian. Ketika pulang dari medan jihad,
Rasulullah bertanya: “Siapakah yang diikat di tiang-tiang itu?” Berkatalah
seorang laki-laki: “Mereka itu Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak ikut
ke medan perang beserta tuan. Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri mereka
kecuali jika tuan yang melepaskannya.” Bersabdalah Rasulullah saw: “Aku tidak
akan melepaskan mereka sebelum aku mendapat perintah (dari Allah).” Maka
turunlah ayat ini (Q.S. 9 Bara-ah: 102)[2]
yang mengampuni dosa mereka. Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah saw
melepaskan ikatan dan memberi maaf kepada mereka…
Diriwayatkan oleh Ibnu
Marduwaih dan Ibnu Abi Hatim, dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu Abbas”
Demikianlah asbabun nuzul surat at-Taubah ayat 102. Sedangkan asbabun nuzul
ayat 103-nya adalah sebagai berikut[3]:
“…Abu Lubabah bersama kedua temannya, setelah dilepaskan, datang menghadap
Rasulullah saw dengan membawa harta bendanya, seraya berkata: “Ya Rasulallah!
Ini adalah harta benda kami, sedekahkanlah atas nama kami, dan mintakanlah
ampunan bagi kami.” Rasulullah saw menjawab: “Aku tidak diperintah untuk
menerima harta sedikitpun.” Maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S. 9 Bara-ah:
103) yang memerintahkan untuk menerima sedekah mereka dan mendoakan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu jarir dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari
Ibnu ‘Abbas.
Dan diriwayatkan pula,
seperti riwayat yang dikemukakan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah tersebut, oleh Ibnu
Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair, adl-Dlahhak, Zaid bin Aslam dan
lain-lain.”
Jadi jelas bahwa secara asbabun nuzul, ayat itu turun tidak berkenaan
dengan ‘amil. Namun para ulama telah menggunakan ayat tersebut sebagai dalil
untuk memungut zakat. Dalam tafsir al-Misbah, karya Quraisy Syihab,
tentang ayat ini dijelaskan bahwa ada ulama yang menghukumi wajib bagi para
penguasa untuk memungut zakat kepada rakyatnya, tetapi mayoritas ulama—menurut
tafsir tersebut—hanya menghukumi sunnat saja.[4]
Keimpulan:
1) Membayar zakat secara langsung kepada
orang yang berhak (mustahik) tanpa melalui ‘amil hukumnya adalah boleh dan
sah. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk melarangnya apalagi
mengharamkannya.
2) Keberadaan ‘amil bukanlah suatu keharusan
secara syariat. Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang
yang ingin membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya
‘amil tetap eksis (ada).
Jika membayar zakat lewat ‘amil dipandang lebih baik, maka yang boleh
dilakukan adalah menganjurkannya dengan cara yang baik pula.
Demikianlah tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishowab...
*Selesai ditulis pada hari Senin, 11 Juli 2011 pkl 13.15. wib.
[1] K.H.Q Shaleh dan H.A.A.
Dahlan, Asbabun Nuzul Latar belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alqur’an,
Edisi II, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000), hlm. 278-279.