Penulis: Ustadz
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Muqaddimah
Ungkapan di atas
sangat populer sekali dan banyak beredar di pengajian, ceramah, dan tulisan
yang menekankan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, terutama seorang ibu
yang telah banyak berjasa besar dan melakukan pengorbanan yang luar biasa untuk
anaknya.
Ungkapan ini
semakin laris manis pada saat menyongsong hari ibu yang diperingati oleh
sebagian kaum muslimin untuk mengenang jasa para ibunda. Namun, apakah ungkapan
ini merupakan hadits Nabi?! Ataukah hanya kata mutiara saja?! Apakah
kemasyhurannya adalah jaminan bahwa itu adalah ucapan Nabi?!
Berikut ini
kajian singkat tentang hadits pembahasan. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat
bagi kita semua.
TEks Hadits:
“Surga di bawah telapak kaki ibu.
” MAUDHU’.
Diriwayatkan oleh Abu Bakar asy Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat 2/25/1, Abu Syaikh
dalam al-Fawaid no. 357 dalam at-Tarikh hlm. 253, atsTsa’labi dalam Tafsirnya
3/53/1, alQudha’i dalam Musnad Syihab 2/2/1, adDulabi dalam al- Kuna 2/138
dari Manshur bin Muhajir dari Abu Nadhr al Abbar dari Anas secara marfu’.
Sanad ini parah,
karena Manshur dan Abu Nadhr tidak dikenal sebagaimana kata Ibnu Thahir,
seperti dinukil oleh al Munawi dalam Faidhul Qadir seraya mengatakan, “Hadits
ini mungkar.”
Hadits ini
memiliki jalur lain, diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 1/325 dan al Uqaili
dalam adh-Dhu’afa' dari Musa bin Muhammad bin Atha': Menceritakan kepada kami
Abu Malih: Menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu Abbas d secara marfu’
(sampai kepada Nabi).
Sanad ini adalah
maudhu’, sebab Musa bin Atha' adalah seorang pendusta. AlUqaili ber kata,
“Hadits ini mungkar.”
Pnngganti yang
shahih
Sebagai ganti
hadits ini adalah hadits Mu’awiyah bin Jahimah, bahwasanya beliau datang kepada
Rasulullah seraya berkata:
“Wahai
Rasulullah, aku hendak berperang, kini aku datang untuk meminta pendapat
engkau.” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Jawabnya, “Ya.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah kepadanya. Sesungguhnya surga itu
berada di bawah kedua kakinya.”
Diriwayatkan
Nasa’i (2/54) dan athThabarani (2/225), dan sanadnya?hasan—insya Allah. Al
Hakim menshahihkannya (4/151) dan disetujui oleh adzDzahabi dan alMundziri
(3/214).
Faedah: Maksud
“Surga di bawah telapak kaki ibu” adalah bahwa tawadhu’ (rendah hati) kepada
seorang ibu merupakan sebab masuknya seorang ke surga. Demikian dikatakan oleh
azZarkasyi dan asSakhawi.
Yang Penting
Maknanya Benar
Kebenaran makna
dan isi suatu ungkapan tidak serta-merta menjadi alasan bolehnya menisbahkan
ungkapan tersebut kepada Nabi. Sebab, tidak boleh menisbahkan ungkapan kepada
Rasulullah kecuali yang benar-benar beliau sabdakan. AlHafizh Abul Hajjaj alMizzi
berkata, “Tidak boleh seorang pun menisbahkan ungkapan yang dianggapnya baik
ke pada Rasulullah sekalipun maknanya benar, karena semua yang dikatakan oleh
Rasulullah adalah benar, tetapi tidak semua yang benar itu mesti dikatakan oleh
Rasulullah .”
Syaikh alAlbani
juga menilai bahwa termasuk kebodohan anggapan bahwa suatu hadits apabila
benar maknanya berarti Rasul pasti mengucapkannya. Beliau berkata, “Sungguh
ini adalah kejahilan yang amat parah, karena betapa banyak hadits-hadits yang
dilemahkan oleh para ulama ahli hadits padahal maknanya shahih. Terlalu banyak
kalau saya harus menampilkan contoh-contohnya, cukuplah apa yang terdapat
dalam kitab karyaku ini. Seandainya penshahihan hadits dibuka karena melihat
maknanya yang shahih tanpa melihat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak
kebatilan akan masuk kepada syari’at dan betapa banyak manusia yang akan
menyandarkan kepada Nabi ucapan yang tidak beliau katakan, dengan alasan
tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di neraka.”
Pupuler Bukan
Jaminan Shahih
Bila ada yang
mengatakan: Namun, hadits ini 'kan sudah masyhur dan populer sekali di
masyarakat, apakah hal itu tidak cukup menunjukkan bahwa dia adalah hadits
shahih?! Kami katakan: Suatu hadits yang masyhur (populer) dan laris-manis di
kalangan masyarakat sama sekali bukanlah jaminan bahwa hadits tersebut shahih.
Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama ahli hadits
menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya.
Al Hafizh Ibnu
Hajar berkata, “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu hadits yang banyak
beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup hadits yang memiliki
satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali.”
Syaikhul Islam
berkata, “Seandainya sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari tukang
cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah
populer, maka hal itu sama sekali bukanlah menjadi patokan. Betapa banyak
hadits-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli
fiqih, kaum sufi, ahli filsafat, dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli
hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan
hadits terse but palsu.”
Ibu, Alangkah
Besarnya Jasamu!!
Sesungguhnya
kedudukan berbuat baik ke pada orang tua dalam Islam sangatlah tinggi dan
agung. Betapa banyak Allah mengiringkan antara hakNya dan hak orang tua,
seperti firman Allah :
ِDan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara ke duanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. alIsrâ' [17]: 23–24)
Berbuat baik
kepada ibu bapak sama-sama ditekankan dalam Islam, namun yang lebih ditekankan
lagi ialah berbuat baik kepada ibu karena besarnya jasa dan pengorbanan seorang
ibu daripada ayah.
Allah berfirman:
َٰ Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman [31]: 14)
Dalam ayat ini
Allah menyebutkan tiga jasa ibu: tugas sebagai ibu, mengandung, dan me nyapih.
Ayat ini
diperkuat oleh hadits berikut:
Dari Abu Hurairah
berkata, “Datang seorang lelaki kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik
kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa lagi?’
Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Siapa lagi?’ Nabi menjawab,
‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian
ayahmu.’” (HR. Bukhari: 5971 dan Muslim: 2548)
Dalam hadits
ini, Nabi menyebut ibu sebanyak tiga kali, menunjukkan bahwa ibu adalah wanita
yang paling berjasa bagi anak. Maka semestinya seorang anak untuk berbuat baik
kepadanya lebih dari yang lainnya. Namun sangat disayangkan sekali, pada zaman
kita sekarang banyak sekali anak-anak yang tidak berbakti kepada ibunya.
Lantas, seperti inikah balasan orang yang telah berjasa besar kepadamu?!
Saudaraku,
seorang ibu adalah wanita yang sangat mulia dan pahlawan bagi anak, dia telah
melakukan pengorbanan yang luar biasa dan berjasa dengan jasa yang tidak bisa
dibayar dengan harta, dialah yang mengandung be berapa bulan lamanya dengan
penuh kesulitan dan penderitaan, dialah yang melahirkan de ngan taruhan nyawa,
dialah yang menyusui, merawat, mendidik, mengasihi hingga tumbuh dewasa.
Ingatlah bahwa kebaikan apa pun yang telah engkau berikan kepada ibu, maka itu
belum sesuai dengan jasa mereka sedikit pun.
Dikisahkan bahwa ada seorang berkata kepada sahabat Abdullah bin Umar,
“Saya telah menggendong ibuku di atas punggungku dari Khurasan sampai selesai
menunaikan ibadah manasik haji, apakah saya telah membalas budi ibu saya?!”
Ibnu Umar, “Tidak seimbang sama sekali meskipun (hanya) dengan sekali
penderitaannya saat melahirkan.” Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah agar
menjadikan kita semua anak-anak yang berbakti kepada orang tua kita,
khususnya kepada ibu kita, baik ketika mereka masih hidup di dunia atau sudah
meninggal dunia. Âmîn. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar