Undang Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi masih membuka peluang besar bagi timbulnya suap. Syariat
Islam telah menetapkan aturan yang menutup rapat semua celah terjadinya suap.
Pejabat yang disuap dan yang menyuap sama-sama dilaknat.
Hubungan harmonis
dalam masyarakat adalah sumber kejayaan umat. Sebaliknya, perpecahan adalah
awal kehancuran umat. Allah berfirman, yang artinya, “Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Membedakan Hadiah atau Suap
Syariat
mengajarkan berbagai kiat merajut persatuan. Kiat menyuburkan kasih sayang
antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah
dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita
meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya
berupa kikil (kaki) kambing.” (HR. At-Turmudzi). Dengan jelas hadis ini
menggambarkan fungsi hadiah dalam syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah
bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang
pemisah antara pemberi dan penerima hadiah.
Mencermati dalil
tersebut, juga lainnya, dapat disimpulkan, konsep memberi hadiah dalam syariat Islam
benar-benar berlatar belakang sosial, tanpa embel-embel komersial. Makna inilah
yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah, “Hendaknya kalian
saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab
Adab Mufrad)
Penjelasan
tersebut mendorong kita untuk mengoreksi berbagai hadiah, yang kita berikan dan
hadiah yang kita terima. Rasa sungkan, keinginan membangun relasi bisnis, dan
pengaruh pamprih lain, lebih melandasi seseorang memberi hadiah. Mungkin inilah
mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang tak berpangkat dan miskin,
walaupun dia patuh beragama. Sebaliknya, berbagai jenis hadiah membanjir ke
orang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.
Suatu hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas ke seorang
lelaki untuk memungut sedekah. Tapi utusan itu ternyata menerima hadiah dari
penyetor zakat. Seusai melakukan tugasnya, lelaki tersebut berkata, Wahai
Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan
harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.
Menanggapi sikap
utusan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa
engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah
engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah, Amma ba’du: Mengapa
seorang utusan yang aku beri tugas lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil
tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah
ayah dan ibunya, lalu dia lihat adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak.
Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada
seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan
kelak pada hari kiamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil
seekor unta, maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil
sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang
dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus
mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun
‘alaih)
Dalam hadis
tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang
jelas dalam hal hadiah. Hadiah yang diterima karena peran atau jabatan yang
seseorang pangku hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis
itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah
yang datang sebelum menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah
menjalankan tugas. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu
lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Dalam hadis lain,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui
sabdanya, “Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Hadis tersebut
selain menekankan pemahaman mengenai ketentuan hadiah, juga menjelaskan segala
bentuk hadiah, baik berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya sebagai suap.
Sebagaimana hadiah bagi pejabat dianggap gratifikasi, walaupun pejabat itu
menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Ketentuan
gratifikasi secara syariat tentu lebih luas daripada ketentuan dalam Pasal 5
Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, hadiah hanya dianggap
gratifikasi bila dengan maksud pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah
tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban.
Baik kewajiban itu dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Bila Anda
renungkan, Anda pasti merasakan bahwa syariat Islam dalam urusan gratifikasi
lebih tegas dan lebih jelas. Dengan pemahaman gratifikasi secara syariah,
segala celah praktek gratifikasi dapat dicegah dan ditanggulangi. Sedangkan UU
No. 20/2001 masih menyisakan celah sangat lebar bagi pemberian gartifikasi.
Dalam UU tersebut, suatu hadiah dianggap gratifikasi bila dengan maksud buruk,
yaitu agar penerimanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
kewajibannya.
Anda pasti
menyadari bahwa niat dan tujuan adalah sesuatu yang tidak kasat mata, karena
tersimpan dalam hati, sehingga sulit dibuktikan. Sebagaimana batasan
“bertentangan dengan kewajiban” juga rentan membuka celah gratifikasi,
mengingat hal itu berbeda-beda, selaras dengan perbedaan pemahaman
masing-masing pejabat.
Hak Pejabat
Tentu Anda merasa
berutang budi ketka mendapatkan layanan dari seorang pejabat. Baik layanan
berkaitan dengan proyek Anda atau urusan pribadi lainnya. Dan biasanya Anda
ingin mengungkapkan rasa terima kasih Anda kepada pejabat tersebut dengan
memberinya hadiah. Sebagaimana pejabat terkait sering kali juga merasa telah
berjasa kepada Anda yang telah mendapatkan layanannya, kerenanya ia merasa
berhak untuk mendapatkan balas budi atas jasanya.
Apa yang Anda
rasakan dan yang dirasakan oleh pejabat, walaupun itu suara batin banyak orang
atau setiap orang, namun sejatinya tidak pada tempatnya. Betapa tidak. Pejabat
telah mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, berupa gaji yang diberikan oleh
instansi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan demikian, sejatinya ia
tidak berhak mengambil imbalan selain yang telah ia sepakati dengan instansi
atau perusahaan tempat dia bekerja.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan fakta tersebut dalam sabdanya, “Barang
siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan
semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya imbalan apa pun yang
(kami) berikan kepadanya atas pekerjannya itu, silahkan ia ambil. Sedangkan
segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya.” (HR.
Muslim)
Adanya hadiah yang
diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya dapat
dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita
rasakan di negeri kita. Karena itu guna menegakkan keadilan di tengah
masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada
pejabat.
Hukum Penyuap dan Penerima Suap
Sebagai rakyat
atau orang yang tidak memangku jabatan, mungkin Anda berkata, dosa suap
hanyalah dipikul pejabat yang menerimanya, sedangkan pemberi suap dapat
melanggang kangkung karena bebas dari jerat dosa suap.
Saudaraku,
persangkaan Anda tidak benar. Sebagai bukti, simaklah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut: “Semoga laknat Allah menimpa penyuap dan
penerima suap.” (HR. Ibnu Majah). Karena itu, Anda sebagai penyuap dan yang
disuap, sama. Anda juga dilaknat.
Semoga paparan ini
dapat menuntun Anda untuk membedakan antara hadiah yang benar-benar bernilai
hadiah dari hadiah yang berfungsi sebagai suap. Semoga Allah Ta’ala
senantiasa melindungi kita semua dari berbagai praktek menyeleweng dari
syariat-Nya. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab. (PM)
Dr. Muhammad
Arifin Badri, M.A.
Wallahu a’lam bishowab.
(Rubrik Fikih
Muamalah Edisi 27/Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar