20 Mei 2012
oleh Radio
Dakwah Al Abror
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu yang artinya:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau
meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya
engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun
jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan
kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari Muslim)
Masih berkaitan dengan pemasalahan di atas, juga
didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia
berkata: “ Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau
menepuk pundakku seraya bersabda yang
artinya:
“Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara
kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi
kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan
menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR.
Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda yang artinya:
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah,
dan aku menyukai untuk-mu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali
engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan
harta anak yatim”. (HR. Muslim)
Kepemimpinan
yang diimpikan dan diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan
merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh
Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya
jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia
lainnya.
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi
terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi
penyesalan”. (HR. Bukhari)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin,
memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran,
penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi pada
manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai,
kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini,
banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan
melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas
anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar
miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya.
Bahkan yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap
sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang
dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal ambisinya meraih posisi
tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul
Bari (13/`135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan
faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,
dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu
semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang
besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti
di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat, kecuali siksa dan
adzab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat
kerusakan. Dan akhir yang baik1142 itu hanya untuk untuk orang-orang yang
bertakwa”. (al-Qashash: 83)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam
tafsirnya mengatakan yang artinya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya
negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan
musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’
(merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak
menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar,
tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di
tengah mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/142)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah yang artinya: “Seseorang
yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan
manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang
demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan
bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta
jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan,
kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan
kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih.
Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang
digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hayalah ucapan yang manis di bibir.
Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa
mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu.
Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang
dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut,
yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam
genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkanya
dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’.
Ini sungguh perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib
orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang ingin
menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dari dua ekor serigala yang
kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda yang artinya:
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di
tengah gerombolan kambing lebih merusakan daripada seseorang terhadap agamanya
karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR.
Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad,
2/178)
Nasehat bagi
mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang
menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya
amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi
pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang
cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia
tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah
tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud
dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan
kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. (HR. Bukhari)
Selain itu jabatan tidak boleh diberikan kepada
seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu
‘anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang
dari keduanya berkata: “Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”.
Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang
yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk
mendapatkannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang
yang memangku jabatan karena permintaanya, maka urusan tersebut akan diserahkan
kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah
di atas: “Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan
ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila
diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak
akan ditolong)”. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari
13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia
diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi
jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan
kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika
mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk
menjauhi kepemimpinan terlebih bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan
tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan
diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan
kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam
menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka
kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun
orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan
mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits
yang shahih seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada
hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang
disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi
Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian
pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun
bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan darinya,
demikian pula para ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu
kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan
yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarh Shahih Muslim,
12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan
dengan dalil permintaan nabi Yusuf kepada penguasa Mesir yang artinya:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir),
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. (Yusuf:
55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena
ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena
keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum
sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan
menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Kalimirrahman,
hal. 401)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi Yusuf meminta
demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya
penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara
syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat
umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat
Nabi Yusuf pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan
kursi jabatan dan kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk
mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi
penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana
mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang
yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri
dengan penyesalan dan kerugian”. (Fathul Bari, 13/134)
Wallahu ‘alamu bish-shawab.
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari