Gelombang Dahsyat Tar Tar
dakwatuna.com - Bayangkanlah dahsyatnya
kehancuran yang diakibatkan oleh gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Jepang
beberapa tahun silam. Mayat-mayat bergelimpangan. Bangunan, pepohonan, kebun,
binatang ternak, sarana umum, semuanya hancur berantakan. Kota yang tadinya
ramai mendadak sepi, kelam dan berubah menjadi seperti kota hantu. Seperti
itulah yg terjadi dengan negeri-negeri Islam yang terbentang dari Samarkhan
hingga Baghdad ketika dilewati oleh Pasukan Mongol.
Bangsa Mongol atau Tartar telah diisyaratkan
kemunculannya oleh Nabi saw. Baginda saw menyebut mereka sebagai Bani Qantura
dengan ciri-ciri fisik bermuka lebar dan bermata kecil. Hanya dengan kekuatan
200.000 tentara dan berlangsung hanya dalam waktu 40 hari Kekhalifahan
Abbasiyah lenyap dari muka bumi.
Kejatuhan Baghdad merupakan peristiwa sangat tragis
dalam sejarah kemanusiaan. Selama 500 tahun bertahta dengan segala kebesarannya
Kekhalifahan Abbasiyah Baghdad luluh lantak dihancurkan. Sebanyak 1,8 juta kaum
muslimin yang berada di kota Baghdad disembelih dan kepalanya disusun menjadi
gunung tengkorak sebagai peringatan bagi negara-negara yang melawan kekuatan
Mongol. Khalifah Sultan Al-Mu’tasim dibantai beserta 50.000 tentara
pengawalnya. Sejak pembantaian itu selama 3,5 tahun umat Islam hidup tanpa
Khalifah.
Ada ahli sejarah menukilkan situasi saat itu bagaimana
Hulagu Khan ini melakukan pembunuhan terhadap khalifah dengan cara memasukkannya
ke dalam gulungan permadani sementara pasukan Mongol menginjak-injak dengan
kuda-kuda mereka. Tidak cukup dengan itu, tentara Tartar yang biadab ini
memusnahkan ribuan perpustakaan yang memuat jutaan kitab- kitab,
manuskrif-manuskrif sebagai khazanah peradaban di Baghdad dengan
mencampakkannya ke dalam laut sehingga air laut bertukar kehitaman akibat
banyaknya kitab- kitab tersebut.
Ketika itu, seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria
dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri
Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan
terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Siapa yang menduga bangsa primitif yang jauh dari
peradaban pernah mengusai 1/2 dari daratan bumi ini. Bangsa Mongol yang nomaden
memutarbalikan semua fakta sejarah. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol
ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya
Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Kengerian yang ditimbulkannya seolah belum hilang di tempat-tempat
yang pernah diserbu oleh pasukan Jenghis Khan ini. Saat berkunjung ke Herat,
Afghanistan, Mike Edwards mendengar komentar masyarakat tentang peristiwa yang
terjadi tujuh setengah abad yang lalu itu, seolah baru saja terjadi sehari
sebelumnya. “Hanya sembilan saja! Seluruh yang masih bertahan hidup di sini –
sembilan orang!” seru seorang warga tua saat menggambarkan serangan Mongol ke
kota itu (National Geographic, Desember 1996). Dan Herat bukan satu-satunya
kota yang menerima nasib buruk dari pasukan Mongol.
Para ulama Islam ketika itu, hampir-hampir tidak mampu
mencatat kronologis peristiwa serangan yang tidak berperikemanusiaan ini. Tidak
pernah terjadi malapetaka sedasyat itu dalam sejarah bangsa manapun. Seperti
yang terucap dari panglima perang Mongol saat pertama kali menjebol kota
Baghdad, “Aku adalah malapetaka yang diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk
menghukum kalian…”
Quthuz Sang Penakluk Gelombang
Saifuddin Quthuz adalah satu di antara tokoh besar
dalam sejarah muslimin. Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari
keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin
Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan
mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang
lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian
mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang
dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz,
yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki
karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di
pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke
Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia
dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan
jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan
memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar
budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan
lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri
jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak
terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus
berakhir di tangannya!
Subhanallah yang telah mengatur dengan Maha Lembut dan
memperdaya dengan Maha Bijak. Tiada sesuatupun di bumi dan langit yang samar
bagi-Nya.
“Dan mereka pun merencanakan makar dengan
sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak
menyadari.” (An-Naml [27]: 50)
Quthuz –sebagaimana mamalik (budak yang dididik
militer) lainnya–tumbuh dengan pendidikan agama yang benar. Semangat Islam yang
kuat bergelora di dalam hatinya. Sejak kecil, ia dilatih dengan seni menunggang
kuda, metode pertempuran, seluk-beluk manajemen dan leadership. Ia tumbuh
menjadi seorang pemuda gagah berani, mencintai dan menjunjung tinggi agamanya.
Ia juga seorang yang kuat, penyabar, dan perkasa. Selain itu semua, ia juga
dilahirkan dari keluarga raja.
Masa kanak-kanak Quthuz layaknya para pangeran yang
lain. Hal ini membuat dirinya begitu percaya diri. Ia tidak asing dengan
masalah kepemimpinan, manajemen negara dan kekuasaan. Di atas itu semua,
keluarganya hancur oleh Tartar. Hal ini–tentu saja–membuat dirinya paham betul
dengan bencana Tartar. Sebab orang yang menyaksikan tidaklah seperti yang
mendengar.
Semua faktor ini berpadu menjadikan Quthuz seorang
yang memiliki karakter sangat unik. Ia merasa ringan dengan penderitaan, tidak
takut dengan para musuh bagaimanapun banyak jumlahnya atau unggul kekuatan
mereka.
Pendidikan Islam dan militer, juga pendidikan untuk
berpegang teguh kepada Allah, agama dan percaya diri, semua itu mempunyai
pengaruh besar dalam kehidupan Quthuz –rahimahullah-.
Nama Quthuz mulai muncul ke permukaan setelah
terbunuhnya Raja Al-Muizz Izzuddin Aibak dan istrinya Syajarah Ad-Dur dihukum
mati. Kemudian kekuasaan beralih kepada “Sultan Bocah” Al-Manshur Nuruddin Ali
bin Izzuddin Aibak. Quthuz-lah yang memegang perwalian atas sultan kecil
tersebut.
Quthuz meskipun ia secara real menyetir roda
pemerintahan di Mesir, namun pada kenyataannya yang duduk di kursi kekuasaan
adalah seorang sultan bocah. Tentu hal ini melemahkan wibawa pemerintah di
Mesir dan merongrong kepercayaan rakyat kepada rajanya serta menguatkan niat
musuh-musuhnya karena mereka melihat raja adalah seorang bocah.
Dengan mempertimbangkan ancaman Tartar yang
menakutkan, problema internal yang mencekik, kekacauan dan pemberontakan dari
mamalik bahriyyah dan ambisi para emir Bani Ayyub di Syam, maka Quthuz melihat
tiada makna keberadaan “Sultan Bocah” Nuruddin Ali di kursi negara terpenting
di kawasan, yaitu Mesir, di mana tiada lagi harapan untuk membendung Tartar
kecuali di pundaknya.
Dari situ, Quthuz mengambil keputusan berani, yaitu
menurunkan Nuruddin Ali dan ia mengambil alih kekuasaan di Mesir. Keputusan itu
bukanlah hal yang aneh. Sebab sebenarnya Quthuz adalah penguasa real di Mesir.
Semua orang –termasuk “sultan bocah” itu sendiri–mengetahui hal itu.
Seolah-olah ada boneka lucu di mana Quthuz-lah yang menggerakan boneka
tersebut. Boneka itu adalah sultan yang bocah. Apa yang dilakukan Quthuz tiada
lain hanya mengangkat boneka itu, untuk memperlihatkan seorang singa gagah yang
di tangannyalah peta geografi dunia akan berubah, begitu pula lembaran-lembaran
sejarah lainnya.
Penggantian ini terjadi pada tanggal 24 Dzul Qaidah
657 H, yaitu beberapa hari sebelum kedatangan Hulagu di Aleppo.
Sejak Quthuz – naik ke kursi kekuasaan, ia terus
mempersiapkan diri untuk menyongsong Tartar yang belum lama menghancurkan
ibukota Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Lalu bagaimana Sultan Al-Muzhaffar
(gelar Quthuz setelah menjadi raja) menangani situasi yang sangat krusial itu?
Apa saja langkah-langkah dan persiapan yang dilakukannya untuk menghadapi
serangan Tartar yang dahsyat? Dalam kurun waktu sekitar setahun (658 H), Quthuz
melakukan banyak pekerjaan besar. Secara ringkas terangkum dalam kronologi
sebagai berikut:
- Quthuz
memulai reformasi dalam negeri di Mesir.
- Pengampunan
terhadap mamalik bahriyyah dan penyatuan dengan bekas rival mereka mamalik
mu’izziyyah.
- Azh-Zhahir
Baibars yang sempat menjadi oposisi diundang pulang ke Mesir dari
Damaskus.
- Upaya
Quthuz menyatukan Mesir dan Syam lewat surat-surat untuk para emir Bani
Ayyub di Syam.
- Aleppo
jatuh pada bulan Shafar, juga Damaskus pada bulan Rabiul Awwal, di bawah
kekuasaan Tartar.
- Datangnya
surat ancaman Tartar untuk menyerang Mesir.
- Quthuz
memutuskan untuk memerangi Tartar.
- Keputusan
Quthuz untuk memerangi Tartar akan dilangsungkan di Palestina dan bukan di
Mesir.
- Dimulainya
persiapan tentara Mesir secara ekonomi dan juga militer.
- Dimulainya
persiapan mental rakyat Mesir dengan ulama sebagai pelopornya untuk
menerima ide jihad melawan Tartar.
- Sebagian
tentara Syam datang bergabung dengan Quthuz di Mesir.
- Tentara
muslim berkumpul di daerah Shalihiyah.
- Tentara
muslim bergerak menuju Palestina pada bulan Sya’ban.
- Kemenangan
muslimin di bawah Baibars atas tentara Tartar yang menjaga Gazza.
- Perundingan
dengan kaum Salib di Akka.
- Quthuz
memilih Ain Jalut untuk menjadi ajang pertempuran dengan Tartar.
- Kemenangan
muslimin di Ain Jalut yang terjadi pada 25 Ramadhan.
- Damaskus
dibebaskan dari tangan Tartar oleh pasukan yang dipimpin Quthuz pada 30
Ramadhan.
- Aleppo
dibebaskan dari tangan Tartar di bawah Baibars pada awal bulan Syawwal.
- Quthuz
kembali ke Mesir pada 26 Syawal.
- Quthuz
meninggal dunia, syahid—insyaallah.
Saifuddin Al-Muzhaffar Quthuz Rahimahullah meninggal
dunia hanya lima puluh hari setelah kemenangan Ain Jalut. Kekuasaannya hanya
berusia 11 bulan dan 17 hari. Tidak genap satu tahun!
Berbagai peristiwa bersejarah yang agung, persiapan
yang bagus, pendidikan yang tinggi, kemenangan gemilang, hasil yang luar biasa
dan dampak yang besar. Ya, semua ini dicapai kurang dari satu tahun!
Meski ia memerintah dalam masa yang sangat pendek,
namun ia termasuk tokoh terbesar dunia. Karena, nilai seorang tokoh dan
keagungannya tidak diukur dengan umurnya yang panjang, harta yang banyak, atau
kerajaannya yang megah, namun ia diukur dengan karya-karya bersejarahnya yang mampu
merubah peta sejarah dan geografi dunia. Pada saat yang sama karya-karya itu
juga bernilai besar menurut mizan (timbangan) Allah.
Ia adalah seorang pembaru (mujaddid) dan teladan
(qudwah) yang baik. Sejumlah nilai ideal melekat pada dirinya; sisi keimanan
dan kekhusyukannya, sisi zuhud dan menjaga kehormatan dirinya, sisi kemampuan
dan kemahirannya, sisi kejujuran dan keikhlasannya, sisi jihad dan
pengorbanannya, sisi kesabaran terhadap diri dan kesabaran terhadap orang lain,
sisi kebijakan dan rendah hatinya..
Ia seperti yang disifati oleh Imam Adz-Dzahabi dalam
Siyar Al-A’lam An-Nubala’, “Ia adalah seorang prajurit pemberani, politikus,
beragama, dicintai rakyat, mengalahkan Tartar, membersihkan Syam dari Tartar
pada perang Ain Jalut, ia juga orang yang baik jihadnya, insyaallah. Ia adalah
seorang pemuda berambut pirang, berjenggot tebal, bentuknya sempurna, ia
memiliki tangan yang putih (sesuai dengan syariah-Nya) dalam berjihad melawan
Tartar, maka Allah gantikan masa mudanya dengan surga dan Dia meridhainya.”
Ia adalah sosok yang disifati oleh Ibnu Katsir dalam
Al-Bidayah wa An-Nihayah sebagai:“Seorang yang pemberani, pahlawan, banyak
berbuat kebajikan, punya kesadaran tinggi terhadap Islam dan menyadarkan rakyat
dengannya. Ia dicintai rakyatnya dan mereka banyak berdoa untuknya.”
Apa arti seorang Quthuz, jika ia tidak berpegang
tegung dengan syariah Allah, tidak menang dalam perang Ain Jalut berkat
keteguhannya dengan syariah, dan tidak komitmen dengan jalan Allah SWT? Apa
arti seorang Quthuz tanpa jalan ini??
Syekh Al-Izz bin Abdussalam, setelah kehilangan Quthuz
dengan begitu cepat, mulai mengkhawatirkan umat ini. Khawatir, kalau-kalau
kemenangan besar itu akan sia-sia dan umat mengalami kehancuran kembali.
Setelah kematian Quthuz, sambil menangis sedih ia berkata, “Semoga Allah
merahmati masa mudanya. Seandainya ia hidup lama tentu ia akan memperbaharui
para pemudanya ke arah Islam.”
Namun, Quthuz memang telah memperbaharui para pemuda
ke arah Islam, meski ia tidak hidup lama!
Daulah Mamalik selama kurang lebih tiga abad kemudian
terus mendorong semangat muslimin dan mengangkat panji Islam. Quthuz telah
meletakkan pondasi yang kokoh. Di atas pondasi inilah orang-orang lain akan
membangun bangunan yang kuat. Tanpa pondasi ini bangunan tidak akan mampu
berdiri.
Terakhir, Syekh Al-Izz bin Abdussalam berkomentar,
“Tiada orang yang memerintah perkara muslimin setelah Umar bin Abdul Aziz
Rahimahullah yang sebanding dengan Quthuz Rahimahullah dalam kesalehan dan
keadilannya.” Bilakah muncul kembali Quthuz-Quthuz muda di zaman ini? Wallahu
a’lam.
Ain Jalut, Titik Balik Gelombang Jihad
Dalam waktu yang tidak berapa lama, demi merasa telah
menaklukkan Abbasiyah maka Hulagu mengirim 4 orang delegasi ke Mamluk Mesir.
Delegasi ini datang dengan membawa surat dari Hulagu Khan kepada Al Muzhaffar
Quthuz. Surat itu berbunyi :
“Dari Raja Raja Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk
Quthuz Mamluk, yang melarikan diri dari pedang kami. Anda harus berpikir
tentang apa yang terjadi pada negara-negara lain dan tunduk kepada kami. Anda
telah mendengar bagaimana kami telah menaklukkan kerajaan yang luas dan telah
memurnikan bumi dari gangguan yang tercemar itu. Kami telah menaklukkan daerah
luas, membantai semua orang. Anda tidak dapat melarikan diri dari teror tentara
kami. kemana Anda lari? Jalan apa yang akan Anda gunakan untuk melarikan diri
dari kami?
Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami
seperti petir, hati kami sekeras gunung-gunung, tentara kami banyak seperti
pasir. Benteng tidak akan mampu menahan kami, lengan Anda tidak dapat
menghentikan laju kami. Doa-doa Anda kepada Allah tidak akan berguna untuk
melawan kami. Kami tidak digerakkan oleh air mata atau disentuh oleh ratapan.
Hanya orang-orang yang mohon perlindungan akan aman. Mempercepat balasan Anda sebelum
perang api dinyalakan.
Menolak dan Anda akan menderita bencana yang paling
mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid Anda dan mengungkapkan kelemahan
Tuhanmu, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak dan orang tua Anda
bersama-sama. Saat ini Andalah satu-satunya musuh yang mesti kami hadapi.”.
Setelah membaca surat tersebut yang isinya jelas-jelas
melecehkan kedaulatan Islam karena hanya memberikan dua opsi, menyerah atau
berperang. Saifuddin Qutuz tidak gentar sedikitpun, malah beliau dengan berani menempeleng
delegasi Mongol itu dan membunuh mereka dan kepala mereka digantung di Bab
Zuweila, salah satu pintu gerbang Kairo. Dengan segera ia menggerakkan
pasukannya dan memancing Mongol untuk bertempur di Ain jalut.
Quthuz melakukan itu tidak melanggar kaidah Islam yang
melindungi delegasi asing yang melakukan tugas negosiasi. Karena para ahli
sejarah menyatakan bahwa kedatangan delegasi Mongol tersebut bukan sekadar
mengantar surat Hulagu Khan an sich, tetapi tertangkap tangan melakukan
tindakan sebagai mata mata tentera Tartar.
Sebagian dari pembesar istana merasa takut dan ingin
menarik diri dari dukungan, karena merasa Mesir ketika itu masih belum siap
untuk menghadapi tentara Mongol yang telah menguasai wilayah yang cukup luas
(dari Korea hingga Polandia hari ini). Quthuz mengumpulkan para
pembesar-pembesar dan para panglima lalu berkata kepada mereka, “Wahai pemimpin
kaum Muslimin! Kamu diberi gaji dari Baitul Mal, sementara kamu tidak mau
berperang. Siapa yang memilih untuk berjihad, mari bersamaku. Siapa yang tidak
mau berjihad, pulanglah ke rumahnya masing-masing. Allah akan mengawasi kalian.
Sungguh dosa kaum Muslimin yang dilecehkan kehormatannya akan ditanggung oleh
orang yang tidak ikut berjihad.”
Kata-kata Quthuz ini menjadi tamparan dan akhirnya
mereka memilih untuk berjihad bersama Quthuz.
Pembiayaan perang yang tidak sedikit menjadi masalah
ketika itu, dibutuhkan biaya besar untuk perbaikan benteng, renovasi jembatan,
penyediaan peralatan perang dan logistik. Quthuz mengumpulkan para menteri
negara untuk bermusyawarah. Kas negara betul-betul tidak mencukupi maka pilihan
yang ada adalah menarik dana dari rakyat dan harus dilakukan dengan segera.
Tetapi Qutuz memerlukan dukungan para ulama untuk
mengeluarkan fatwa. Tanpa fatwa Qutuz tidak akan melakukannya. Umat Islam di
Mesir saat itu tidak mengenal pungutan selain hanya zakat. Diantara yang
dipanggil ketika itu adalah seorang ulama yang bernama Al-Izz bin Abdis Salam
Al-Izz bin Abdis Salam telah sepuh berumur 81 tahun dan terkenal karena ketegasannya.
Beliau mengeluarkan fatwa yang cukup tegas:
“Apabila negara diserang musuh, maka wajib atas dunia
Islam untuk memerangi musuh itu. Harus diambil dari rakyatnya harta mereka
untuk membantu peperangan dengan syarat bila tidak ada asset yang tersimpan di
dalam Baitul Mal. Maka setiap kalian (penyelenggara pemerintahan) hendaklah
menjual seluruh asset yang dimiliki dan tinggalkan untuk diri kalian hanya kuda
dan senjata saja. Kalian dan seluruh rakyat adalah sama di dalam masalah ini.
Adapun tentang mengambil harta rakyat sementara pimpinan tentara masih memiliki
harta dan peralatan mewah, maka penarikan harta rakyat tidak menjadi
keharusan.”
Fatwa yang cukup tegas ini disambut dengan ketegasan
Qutuz pula. Beliau menginstruksikan agar semua pembesar dan pimpinan perang
menyerahkan seluruh asset yang mereka miliki sesuai fatwa tersebut. Hasilnya,
Mesir menjadi negara yang kaya. Penyerahan harta oleh para pembesar dan
pimpinan diikuti pula secara serempak oleh seluruh rakyat. Mereka menyumbangkan
harta untuk memenuhi tuntutan pembiayaan perang. Fatwa Al-Izz bin Abdis Salam
sangat ampuh menyelesaikan masalah keuangan dengan segera.
Kemudian Al- Qutuz segera memobilisasi tentaranya maka
terbentuklah pasukan berjumlah 20. 000 orang tentara. Mereka berunding dan
akhirnya memutuskan untuk menyerang tentara Mongol di luar Mesir. Ini adalah
strategi ofensif dalam menghadapi tentara Mongol.
Para tentara Allah ini berangkat ke luar wilayah Mesir
dan terus bergerak ke arah Palestina. Dan bertemulah mereka dengan pasukan
Tartar yang dikomandani oleh Kitbuqa di Ainun Jalut. Maka terjadilah
pertempuran dahsyat antara kedua belah pihak.
Saat pertempuran sengit berlangsung, al- Qutuz membuka
topeng besinya dan melaju dengan kudanya ke tengah arena pertempuran sambil
memberi motivasi kepada seluruh tentaranya agar berjuang sampai titik darah
penghabisan untuk memburu syurga Allah. Teriakan takbir bergema di sepanjang
pertempuran dan al Qutuz terus merangsek di tengah- tengah musuh.
Pada pertempuran Ain Jalut ini, al- Qutuz didampingi
isterinya Jullanar yang turut menyertai dalam rombongan pasukannya. Ketika
Jullanar terluka parah, al- Qutuz memapahnya sambil berkata, ”Wahai Kekasihku.”
Jullanar dalam keadaan terluka parah tetap memberikan semagat kepada suaminya.
Dia pun membalas ucapan mesra suaminya dengan mengatakan, ”Wahai al-Qutuz lebih
cintalah kamu kepada jihad ini.” Lalu isterinya menghembuskan nafas terakhir
dan gugur sebagai syahidah.
Dalam kecamuk perang yang dahsyat, kuda yang
ditunggangi al Quthuz terbunuh. Dengan sigap beliau langsung melompat dan
berlari menghadang musuh. Saat itu ada seorang prajurit yang menyaksikan kuda
al Quthuz terbunuh. Dengan tanpa dikomando sang prajurit menawarkan kuda
tunggangannya kepada al Quthuz.
“Saya tidak ingin menghalangimu untuk memberikan
manfaat kepada orang lain.” Al Quthuz menghargai tawaran prajuritnya sebagai
sebuah kesetiaan. Semangat jihadnya yang tinggi menjadi api yang membakar
semangat para tentaranya untuk memburu syahid yang selalu diidam-idamkannya.
Qutbuddin Al-Yunaini di dalam Al-Bidayah Wan Nihayah
(658H) mengatakan bahwa al Qutuz sebelum menjadi seorang Sultan pernah bermimpi
bertemu Rasulullah saw, dalam mimpinya Nabi saw mengatakan kepadanya bahwa
dirinyalah yang akan menguasai Mesir dan akan menang dalam perang melawan
Mongol.
Setelah itu al- Qutuz terus maju ke medan pertempuran
hingga akhirnya pada hari Jumat, 25 Ramadhan 658H, bertepatan dengan 3
September 1260M tentara- tentara Allah ini berhasil merebut kemenangan atas
tentara Tartar di Ain Jalut. Padahal selama ini tentera Tartar tidak pernah ada
cerita dikalahkan dalam setiap pertempuran. Dan andaipun kalah di beberapa
pertempuran, maka mereka akan mampu menebus kembali kekalahan mereka. Akhirnya
hancurlah pasukan Tartar di ujung mata pedang kaum muslimin dan tidak pernah
mampu lagi menebus kekalahan mereka di Ain Jalut.
Redaktur: Hendratno
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28133/al-quthuz-singa-gurun-di-ain-jalut/#ixzz2LcJnGIKG