Penulis : Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Keberuntungan dan Kebahagiaan
Siapa gerangan yang tak hendak mendapatkan untung?
Siapa pula yang tak ingin meraih bahagia? Semua orang tentu mendambakan
keberuntungan sekaligus kebahagiaan. Namun banyak orang menyangka keberuntungan
dan kebahagiaan itu dapat diraih bila seseorang berhasil mendapatkan dunia
berupa harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan. Karena pandangan seperti itu,
mereka pun menghabiskan waktu, umur, dan tenaga mereka guna meraih apa yang
menurut mereka sebagai sebab (faktor) keberuntungan dan kebahagiaan. Padahal, sungguh
mereka telah salah dan tidaklah mereka mengikuti petunjuk. Lihatlah Qarun yang
hidup di zaman Nabi Musa, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya saja harus dipikul oleh sekelompok
lelaki yang kuat. Namun apa akhirnya kisahnya? Karena kedurhakaannya, ia
ditenggelamkan ke dalam bumi bersama hartanya, sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an:
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ
لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Kami pun membenamkan Qarun beserta rumahnya ke
dalam bumi, maka tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya selain Allah
(dari azab-Nya).” (Al-Qashash: 81)
Sampai pula kabar kepada kita tentang Fir‘aun si
durjana yang binasa dengan kerajaan dan kekuasaannya. Demikian pula umat-umat
terdahulu yang memiliki kekuatan hebat dan kekuasaan yang besar, namun ingkar
kepada Rabb semesta alam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang
artinya:
“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Rabbmu
telah berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang memiliki
bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti
itu di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di
lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak, yang berbuat
sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri
itu. Oleh sebab itulah Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.
Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 6-14)
Lalu, apakah kemajuan teknologi dalam berbagai bidang
yang di zaman ini dikuasai oleh orang-orang kafir merupakan sebab keberuntungan
dan kebahagiaan mereka? Sekali-kali tidak!
Ketahuilah wahai saudariku, bila iman tidak menjadi
pegangan dan akidah yang shahihah tidak menjadi landasan, akan rusak binasalah
dunia dan jadilah seluruh amalan tiada berfaedah. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman mengabarkan tentang amalan orang-orang kafir, yang artinya:
“Dan amal-amal orang-orang kafir adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati apa-apa….” (An-Nur:
39)
“Permisalan amalan-amalan orang-orang yang kafir
kepada Rabb mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu
hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun
dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah
kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Kehidupan orang kafir di dunia ini –dengan segenap
harta yang ada pada mereka berikut kekuasaan, kekuatan, dan teknologi– Allah
Subhanahu wa Ta’ala namakan dengan perhiasan sementara, yang akan berakhir
dengan kerugian dan api neraka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
yang artinya:
“Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh
kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan
sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam dan Jahannam itu
adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)
Sebagian kaum muslimin yang lemah imannya teperdaya
manakala melihat orang-orang kafir diberi keluasan dan kelapangan dalam
kehidupan dunia. Akibatnya ia kagum dan mengagungkan mereka di dalam hatinya.
Sebaliknya, bila ia melihat kelemahan yang menimpa kaum muslimin dan
terbelakangnya kehidupan mereka, ia menyangka semua itu gara-gara Islam. Islam
berikut pemeluknya pun jadi hina di dalam jiwanya.
Ketahuilah, kebangkrutan dan kerugian orang kafir di
dunia dan di akhirat merupakan suatu kemestian, karena mereka telah kehilangan
penegak keberuntungan dan kebahagiaan. Di antara yang paling inti adalah iman
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keberuntungan hanyalah bagi
orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang artinya:
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalat
mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yaitu) yang akan
mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 1-11)
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang
beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada
Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan beriman kepada kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.
Mereka itulah yang tetap beroleh petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)
Sebab-sebab keberuntungan yang bisa kita sebutkan di
sini di antaranya:
-Bertaubat dari dosa-dosa, beriman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
“Adapun orang yang bertaubat dan beriman serta
mengerjakan amal shalih maka semoga ia termasuk orang-orang yang beruntung.”
(Al-Qashash: 67)
-Terus-menerus berzikir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagaimana
firman-Nya, yang artinya:
“Berzikirlah kalian kepada Allah dengan
sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
-Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menjauh
dari sifat-sifat tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Berinfaklah dengan infak yang baik untuk diri
kalian. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ
فَصَلَّى
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan
dirinya. Dia ingat nama Rabbnya kemudian ia mengerjakan shalat.”
(Al-A’la: 14-15)
Demikianlah wahai saudariku… Akan datang suatu hari
kelak di mana tampak bagi seluruh manusia siapa yang beruntung dan siapa yang
merugi. Hari yang pasti itu adalah hari ditimbangnya seluruh amalan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran. Maka
barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang
yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu berlaku zalim terhadap
ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)
Sebelum datang hari itu, masih terbuka kesempatan bagi
kita. Selama hayat masih dikandung badan, (masih ada kesempatan) untuk berbenah
diri sehingga kita mengatur amalan kita, memperbaiki apa yang rusak dari amalan
kita dan memperbanyak amal kebaikan agar berat dalam timbangan pada hari kiamat
kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil
Munasabat Al-’Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/183-186)
Wallahu a’lam bishowab.
Dikutip dari www.asysyariah.com Penulis : Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan Judul: Keberuntungan dan Kebahagiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar