Kalau
bercerita tentang keterasingan seorang muslim yang mengemban amanah ‘ubudiyah
penghambaan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, baik yang hidup pada masa
awal muncul Islam maupun yang ditakdirkan pada masa akhir zaman seperti pada
zaman sekarang ini, merupakan kumpulan cerita orang yang tidak lepas dirundung
duka dan dilanda kesedihan. Mereka tidak ubahnya sebagai seorang musafir yang
singgah di perkampungan, tidak ada saudara untuk tempat mengadu, tidak ada
kerabat untuk diminta bantuannya, tidak ada teman yang diajak tertawa dan
bercengkrama. Akan tetapi keterasingan tersebut tidak membawanya kepada
pesimis, malahan membuat mereka optimis. Mereka tetap bisa bekerja, beramal
semaksimal mungkin untuk mendapatkan keberuntungan sebagai bekal yang akan
mereka bawa ke kampung halamannya.
1. Siapakah orang-orang yang dianggap
asing tersebut ?
Untuk mengenal siapakah orang-orang
yang dianggap asing atau ghuraba', maka mari kita lihat dan kita resapi hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kita rasakan seolah-olah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup ditengah-tengah kita,
diantara hadits tersebut adalah:
· Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhya
Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing, maka beruntunglah
orang-orang yang dianggap asing." (HR. Muslim/2/152 no. 232-(145)
·
Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, dia berkata:
dikatakan kepadanya; siapakah mereka wahai Rasulullah ? Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab: "Orang-orang yang baik, ketika manusia
telah rusak". (HR. Abu Amr Ad-Dani di Sunan Waridah fil fitan 1/25,
Al-Ajurri di Ghuraba' hal. 21, silahkan lihat Silsilah Shahihah 3/267)
Hadits-hadits tentang ini sangat
banyak, bahkan dalam tinjauan para para ulama lebih 20 orang sahabat yang
meriwayatkan hadits tentang Ghuraba' ini.
2. Para salaf berbicara tentang keterasingan
A. Sunnatullah yang sedang berlaku
Dalam keterangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, Islam
akan mengalami dua kali keterasingan; keterasingan pertama yaitu keterasingan
awal Islam dan keterasingan yang kedua adalah keterasingan akhir Islam.
Hadits keterasingan diatas memiliki makna yang sama dengan hadits Hudzaifah
Ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu tentang pertanyaan beliau kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam perihal kebaikan dan keburukan;
Dari Idris Al-Khaulani bahwa dia mendengar Huzaifah bin Yaman Radhiyallahu
‘anhu berkata: "Orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sebaliknya aku bertanya tentang
keburukan karena aku takut jatuh kedalamnya, aku berkata: Wahai Rasulullah,
kami dahulunya dalam jahiliyah dan keburukan, lalu datanglah kepada kami
kebaikan ini (Islam), apakah setelah kebaikan ini ada keburukan ?
"Benar" jawab Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku
berkata; Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan ? Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata: "Benar, akan tetapi berkabut". Aku
berkata : "Apa kabutnya ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: "Adanya satu kelompok mengambil petunjuk selain dari petunjukku,
engkau mengenal mereka dan engkau ingkari perbuatannya. Aku berkata; Apakah
setelah kebaikan tersebut ada keburukan ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab: "Benar, adanya juru dakwah di pintu-pintu Jahannam,
siapa yang memenuhi panggilan mereka, akan mereka masukkan kedalamnya".
(HR. Bukhori 6/615 no. 3606, Muslim 12/236 no. 1847)
Hadits ini cukup panjang kita tidak merinci semuanya. Dan kalau kita cermati hadits
Huzaifah Radhiyallahu ‘anhu diatas bahwa kebaikan dan keburukan saling
bergantian. Masa jahiliyah, lalu masa kebaikan, lalu masa keburukan, lalu masa
kebaikan yang telah berdebu, lalu keburukan total.
Dari hadits tersebut jelaslah bagi kita bahwa seorang muslim dalam kehidupan
ini akan diuji oleh Allah Tabâraka wa Ta'âla diuji dengan kebaikan dan
keburukan. Dengan adanya kebaikan dan keburukan, maka ini sebagai konsekuensi
dari penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, apakah mereka dapat
bersabar dan istiqomah diatas perintah-Nya atau sebaliknya mereka kufur dan
ingkar terhadap syariatnya. Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: "Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya diatas air
untuk menguji kalian siapa yang terbaik amalnya". (QS. Hud: 7)
Ujian dan cobaan sebagai filter keimanan seseorang, Allah Tabâraka wa Ta'âla
telah menerangkan harus ada ujian dan cobaan agar kekuatan iman dapat
dipastikan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Apakah manusia menyangka
mereka dibiarkan saja untuk berkata "kami telah beriman". Padahal
mereka belum diuji. Kami telah uji orang-orang sebelum mereka, supaya Allah
mengetahui siapa yang benar keimanannya dan siapa yang dusta dalam keimanannya".
(QS. al-Ankabut: 2-3)
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkan orang yang
berpegang teguh dengan kebenaran pada zaman keterasingan dengan seorang yang
sedang memegang bara, ketika bara dipegang terasa panas yang sangat, hingga
mengelupaskan kulit dan mengeluarkan air mata karena pedihnya, akan tetapi ia
harus tetap digenggam, sebab ia adalah perintah dan ia adalah satu-satunya
jalan keselamatan. Jika ia dilepas, berarti lepaslah agama. Bara itu tidak
boleh digenggam dengan tanggung-tanggung. Dapat dipastikan akan menambah lama
penderitaan dan kesengsaraan, akan tetapi ia harus digenggam erat, agar mati
panasnya bara, yang tersisa hanyalah kebahagian menyongsong ganjaran dan
pahala.
Untuk memperkuat dan menambah keyakinan kita, mari kita lihat hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang ini: "Dari
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu masa,
orang yang sabar pada masa itu bagaikan orang yang sedang menggenggam
bara". (HR.Tirmidzi 4/526 no. 2260 berkata Tirmidzi bahwa hadits ini dari
jalan gharib. dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah
2/645 no. 957)
Dan bukan berarti jika ia bara yang panas, ia boleh dilepaskan dan
ditinggalkan, karena dengan melepaskan dan meninggalkannya berarti akan
menanggalkan semua atribut penyerahan dirinya kepada Allah Tabâraka wa
Ta'âla, ia telah menanggalkan pakaian Islam dari dirinya dan memutuskan
tali kebahagiaan dan gantungan jiwanya, karena bara itu tidak lain adalah
Islam.
Adapun sikap seorang mukmin dalam keterasingan ini adalah selalu istiqomah
dalam melaksanakan perintah Allah Subhânahu wa Ta'âla dan Rasul-Nya.
Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah,
yaitu sebelum kedatangan Islam keadaan masyarakat bumi pada masa itu dalam
gelap gulita tidak ada cahaya hidayah dan lentera kebenaran, masyarakat tidak
lagi beragama sesuai dengan agama yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan
pada setiap Rasul yang diutus pada setiap negeri, sedangkan masyarakat pada
waktu itu dikenal dengan masyarakat jahiliyah, karena mereka tidak lagi
menjalankan nilai-nilai kebaikan yang diturunkan oleh Allah Tabâraka wa
Ta'âla melalui agama yang hanif, lurus sebagaimana lurusnya awal penciptaan
fitrah pada diri manusia. Terjadinya kegelapan dan kebodohan, karena manusia
telah meninggalkan perintah Dzat Yang Maha Kuasa, melanggar perintah-Nya dan
mengerjakan larangan-Nya, ketika itulah mereka disebut masyarakat bodoh atau
jahiliyah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, semua
manusia musuhnya, tidak ada yang beriman kecuali orang-orang tertentu dari
kalangan bawah dan segelintir dari orang yang memiliki fitrah yang bersih dan
akal yang lurus.dari segi aqidah orang-orang jahiliyah menyembah berhala,
patung, syirik dan kekufuran, akhlaq mereka yang rusak, suka berperang, balas
dendam dan sombong.
Oleh karena itu, kebenaran begitu terasing sebelum Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam diutus, sehingga seseorang yang berakal sehat dan mempunyai
fitrah yang lurus tidak bisa menjalankan agama yang benar, karena kentalnya
maksiyat dan menyebarnya kebatilan.
Dengan kondisi seperti itu maka kedatangan Islam dianggap asing, karena Islam
meluruskan jalan hidup manusia yang melenceng. Kaum muslimin terasing dengan
peribadatannya kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla diantara peribadatan
orang-orang kebanyakan kepada patung dan berhala. Kaum muslimin terasing dengan
bimbingan wahyu dari Allah Tabâraka wa Ta'âla terhadap akal dan hawa
nafsunya ditengah masyarakat yang memperturutkan akal dan hawa nafsunya tanpa
bimbingan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.
◊ Keterasingan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Setelah
tiga tahun berlalu umur dakwah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
orang-orang yang masuk Islam datang dalam keadaan terasing. Ini yang dirasakan
langsung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai manusia pertama
yang merasa asing, bagaimana tidak !!! Seorang anak bangsawan Quraisy dikenal
dengan semua sifat baik dan budi pekertinya yang halus, ketika Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bangkit dengan dakwah Islam, Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam dimusuhi. Kekaguman berubah menjadi kebencian, kawan
berubah menjadi lawan, kedekatan berubah menjadi pengusiran, kata-kata baik
selalu ditafsirkan buruk, cobaan demi cobaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam hadang walaupun nyawa tantangannya. Tidak ada yang memberikan
pembelaan kecuali segelintir orang. Akan tetapi pembela, penolong yang paling
hebat, yaitu Allah selalu memperhatikannya, sampai kemenangan dan kebahagian
diraih oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya
Ridhwânullahi ‘alaihim ajma'in.
Keterasingan
yang dirasakan oleh shahabat, dapat kita lihat seperti Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu, dia diusir dari Makkah, ketika beliau sampai di Barkul Ghamad
(daerah di Yaman) bertemu dengan Ibnu Dighnah, penguasa wilayah tersebut, ia
berkata: "Kemana engkau hendak pergi, wahai Abu Bakar ? Beliau berkata:
"Kaumku telah mengusirku, maka aku hendak berkelana beribadah kepada
Robbku". Ibnu Dighnah berkata: "Orang sepertimu tidak boleh keluar
dan tidak boleh diusir, engkau orang yang memperkerjakan orang yang mengganggur,
menjalin silaturrahim, menanggung orang-orang yang lemah, menerima tamu dan
membantu orang yang mendapat kesusahan, aku adalah tetanggamu, pulanglah dan
ibadatilah Robbmu di kampungmu", lalu orang musyrik itu, menjadi
penjaminnya untuk masuk Makkah.
Kita lihat pula Bilal ibnu Robah Radhiyallahu ‘anhu disiksa oleh majikannya, dijemur dibawah terik matahari di padang pasir yang berbatu, Syuhaib Radhiyallahu ‘anhu dibakar kepalanya dengan besi panas. Semua ini penyebabnya karena dianggap asing oleh masyarakat yang telah rusak aqidahnya, akhlaknya dan mu'amalahnya.
Kita lihat pula Bilal ibnu Robah Radhiyallahu ‘anhu disiksa oleh majikannya, dijemur dibawah terik matahari di padang pasir yang berbatu, Syuhaib Radhiyallahu ‘anhu dibakar kepalanya dengan besi panas. Semua ini penyebabnya karena dianggap asing oleh masyarakat yang telah rusak aqidahnya, akhlaknya dan mu'amalahnya.
◊ Keterasingan Ahlus Sunnah Waljama'ah diantara Kalangan Umat Islam
Disebabkan karena Ahlussunah Waljama'ah
merupakan golongan yang selamat dari 73 golongan yang digambarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk neraka, satu yang selamat
yaitu mereka yang berpegang teguh kepada apa yang diamalkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya.
◊ Keterasingan Para Penegak Kebenaran dan
Orang yang Melantangkan Suaranya dalam Menyeru kepada Tauhid
4. Sifat-sifat Ghuraba' (Orang-orang Asing)
Orang-orang ghuraba' pada masa akhir zaman, dialah muslim sejati dengan
sifat-sifat idealnya, sebagaimana mereka adalah muslim sebenarnya pada masa
awal Islam.
Dari semua kumpulan hadits tentang mereka maka sifat yang paling menonjol pada
mereka adalah sebagai berikut:
· Mereka adalah orang-orang yang shalih dan ta'at pada
perintah agama. Engkau lihat mereka bergerak dan berjalan atau diam, dia selalu
meletakkan kakinya diatas aturan Allah Subhânahu wa Ta'âla, perhatiannya
tidak lepas kepada tempat suruhan yang akan dia kerjakan dan tempat larangan
yang harus dia tinggalkan. Begitu besar perhatiannya kepada hal yang demikian
sehingga mendorongnya untuk menuntut ilmu syariat, karena tidak akan mungkin
mengetahui hal itu tanpa memiliki bashirah yang tajam dan ilmu yang
mendalam tentang al-Qur'ân dan Sunnah.
· Keshalihannya
menuntutnya untuk mengenal Allah Tabâraka wa Ta'âla, Ia sangat mengenal
tempat-tempat kemurkaan-Nya sebagaimana ia mengenal tempat-tempat
keridhaan-Nya. Ia tahu apa yang harus ia perbuat ketika ia tergelincir dalam
melakukan kesalahan dan maksiyat, bagaimana ia kembali dapat merebut kecintaan
Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya, bahkan melalui kesalahan tersebut ia
mampu untuk mendekatkan diri kepada-Nya lebih dekat lagi daripada sebelum
melakukan kesalahan dan maksiyat.
Demikianlah
diantara sifat-sifat orang yang ghuraba' (asing) semoga Allah menunjuki
hati kita menuju jalan-Nya dan menjauhi kita dari jalan yang menyimpang dan
sesat.
*Disadur dari buku Temui Aku di Telaga oleh Ustadz Armen Halim Naro.
*http://ibnurodjat.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar