Sultan-Qaboos-Grand-Mosque-in-Muscat-Oman

Selasa, 31 Juli 2012

Boleh Membayar Zakat Tanpa Melalui ‘Amil

Oleh: M. Al-Amin, Tk. Sidi Mandaro
 

Berikut ini kami kutipkan keterangan tentang hal tersebut yang terdapat di dalam terjemahan Fiqih Sunnah jilid III, penerbit PT Al Ma’arif Bandung, cetakan ke-20, halaman 135 – 136:

Biasanya Rasulullah saw mengirim petugas-petugasnya buat mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik. Abu Bakar dan Umar juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi.53)

Tatkala datang masa pemerintahan Usman, seketika ia masih menempuh jalan tersebut. Tetapi waktu dilihatnya banyaknya harta-harta yang tersembunyi, sedang untuk mengumpulkannya menyulitkan, dan untuk menyelidikinya menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkannya kepada para pemilik harta itu sendiri.

Dan para fukaha telah sepakat, bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Berdasarkan riwayat Saib bin Yazid:

“Saya dengar Usman bin Affan berkhotbah di mimbar Rasulullah saw, katanya: ‘Ini adalah bulan pembayaran zakat! Maka siapa-siapa yang masih mempunyai utang di antara kamu, hendaklah dilunasinya utangnya hingga hartanya jadi bersih, maka dapat dibayarnya zakat’!”

(Diriwayatkan oleh Baihaqi, dengan isnad yang sah)

Berkata Nawawi: “Tidak terdapat pertikaian. Dan sahabat-sahabat kami menyampaikan tercapainya ijma’ dari kaum muslimin.”
-------------------------------------
53) Harta-harta yang jelas itu misalnya hasil tanaman, buah-buahan, ternak dan barang tambang, sedang yang tersembunyi, ialah barang dagangan, emas-perak dan harta karun

Kita tidak ragu bahwa gaji itu termasuk harta tersembunyi karena ia tersimpan dalam rekening sebuah bank, tidak bisa dengan mudah dilihat oleh orang lain.

Kemudian, di halaman 127 kita dapati juga keterangan sebagai berikut:

“… Jadi siapa yang mendapat kewajiban buat mengeluarkan zakat, lalu diserahkannya pada salah satu jenis dari golongan tersebut, maka ia telah melakukan apa yang dititahkan Allah kepadanya, dan bebaslah ia dari kewajiban.”
Dari keterangan-keterangan yang telah kami kutipkan di atas, kami rasa cukup jelaslah bagi kita bahwa membayar zakat secara langsung kepada orang yang berhak tanpa melalui ‘amil itu hukumnya adalah boleh dan sah.

Dari kutipan tersebut juga, ada beberapa hal lain yang bisa kita pahami, yaitu:

1)      Keberadaan ‘amil bukanlah suatu keharusan menurut syari’at.

Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang yang ingin membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya ‘amil tetap eksis (ada), apalagi dengan menyatakan bahwa Al-Quran atau hadits melarangnya padahal tidak ditemui satupun dalil dari Al-Quran atau hadits yang melarang pembayaran zakat secara langsung (tanpa melalui ‘amil) tersebut.

2)      Pembayaran zakat lewat ‘amil yang berlaku pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar adalah suatu kebiasaan saja pada masa itu, bukan menunjukkan hukum wajib.

Hal tersebut berlaku karena memang situasi dan kondisi pada masa itu yang membuatnya cocok dan perlu untuk diterapkan, seperti bahwa:

a)      Masa Rasulullah saw adalah masa pembentukan hukum. Kewajiban zakat mulai berlaku baru pada tahun ke-2 setelah hijrah. Tentu saja kewajiban yang baru itu perlu disosialisasikan. Perlu ada memang orang yang diutus untuk memberitahu, atau mengingatkan, atau sekaligus menjemputnya. Karena itulah diperlukan ‘amil. Selain itu, kalau pada masa itu pembayarannya diserahkan kepada pemilik masing-masing, dikhawatirkan akan banyak terjadi kesimpang-siuran. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi proses pembentukan hukum zakat.

b)      Pada masa Abu Bakar dan Umar belum banyak terdapat harta yang tersembunyi seperti yang diistilahkan oleh kutipan di atas. Sehingga kebiasaan membayar zakat lewat ‘amil pada masa pemerintahan mereka berdua tidak perlu diubah.

Sedangkan pada masa Usman, keadaan sudah berubah. Sudah banyak orang yang memiliki harta yang tersembunyi. Maka cara pembayaran zakat lewat amilpun tidak begitu digalakkan lagi. Kalau pembayaran zakat lewat ‘amil itu hukumnya wajib, tentunya Usman mau tidak mau harus tetap melakukannya. Tapi kenyataannya hal itu tidak terjadi.


3)    Untuk mewajibkan atau melarang sesuatu secara syariat, tidak bisa dengan semata-mata berdalil pada kebiasaan yang berlaku pada masa Rasulullah saw atau sahabatnya. Harus ada Sunnah Qauliyah (ucapan Nabi saw) atau ayat Al-Qur’an yang jelas-jelas mewajibkan atau melarangnya.

Kalau kebiasaan yang berlaku pada masa Rasul atau sahabat itu semata-mata menjadi dalil untuk mewajibkan atau melarang sesuatu, niscaya pada masa kini kita wajib melaksanakan shalat dengan memakai terompah di masjid, sebab hal itu lazim terjadi pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, sebagaimana yang tergambar pada hadits berikut ini:  
أنّّه صلى الله عليه و سلم صلى فخلع نعليه فخلع الناس نعالهم فلماانصرف قال: لما خلعتم؟ قالوا رأيناك خلعت فخلعنا، فقال: إن جبريل أتاني فأخبرني أن بهما خبثا فإذا جاء أحدكم المسجد فليقـلب نعـليه ولينظر فيهما، فـإن رأى خبثا فليمسحه بالأرض ثم لـْيُصَلِّ فيهما (رواه أحمد وأبو داود والحاكم وابن خبان وابن خزيمة وصححه)

Nabi saw sedang shalat, kemudian dibukanya kedua terompahnya. Maka orang-orangpun sama membuka terompah-terompah mereka pula. Dan ketika Nabi berpaling, beliau bertanya: “Kenapa kalian buka?” Ujar mereka: “Kami lihat Anda buka, maka kami buka pula.” Maka sabda Nabi saw: “Sungguh Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa pada kedua terompahku itu ada kotoran. Bila salah seorang di antaramu datang ke masjid, hendaklah ia membalik kedua terompahnya dan memperhatikannya. Bila dilihatnya ada kotoran, hendaklah digosokkannya ke tanah, lalu shalat dengan menggunakan kedua terompah itu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah yang menyatakan sahnya). 

Beliau saw dan para sahabat biasa melakukan shalat dengan memakai terompah di masjid hanyalah karena kondisi masjid pada saat itu yang hanya berlantai tanah atau alasan-alasan lainnya yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada masa itu. 

Mengenai Surat at-Taubah Ayat 103

Ayat tersebut berbunyi (lihat teksnya di al-Qur'an): 

103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dilihat dari asbabun nuzulnya (sebab turunnya), ayat ini tidak bercerita tentang masalah ‘amil. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya (ayat 102) yang bercerita tentang Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang menyesal karena tidak ikut berangkat jihad bersama Rasulullah saw padahal tidak ada suatu halangan apapun bagi mereka yang dapat dibenarkan untuk tidak ikut berperang. Ayat tersebut berbunyi: 

102. Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Untuk lebih jelasnya marilah kita simak keterangan yang terdapat dalam buku Asbabun Nuzul[1] tentang ayat 102 tersebut sebagai berikut:

“Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Rasulullah saw berangkat Jihad, Abu Lubabah dan lima orang kawannya meninggalkan diri. Abu Lubabah dan dua orang kawannya termenung dan menyesal atas perbuatannya, serta yakin akan bahaya yang akan menimpanya. Mereka berkata: Kita di sini bersenang-senang di bawah naungan pohon, hidup tenteram beserta istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum mukminin yang menyertainya sedang berjihad. Demi Allah, kami akan mengikat diri pada tiang-tiang dan tidak akan melepaskan talinya kecuali dilepaskan oleh Rasulullah.” Kemudian mereka melaksanakannya, sedang yang tiga orang lagi tidak berbuat demikian. Ketika pulang dari medan jihad, Rasulullah bertanya: “Siapakah yang diikat di tiang-tiang itu?” Berkatalah seorang laki-laki: “Mereka itu Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak ikut ke medan perang beserta tuan. Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri mereka kecuali jika tuan yang melepaskannya.” Bersabdalah Rasulullah saw: “Aku tidak akan melepaskan mereka sebelum aku mendapat perintah (dari Allah).” Maka turunlah ayat ini (Q.S. 9 Bara-ah: 102)[2] yang mengampuni dosa mereka. Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah saw melepaskan ikatan dan memberi maaf kepada mereka…

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dan Ibnu Abi Hatim, dari al-‘Aufi yang bersumber dari Ibnu Abbas
Demikianlah asbabun nuzul surat at-Taubah ayat 102. Sedangkan asbabun nuzul ayat 103-nya adalah sebagai berikut[3]: 

“…Abu Lubabah bersama kedua temannya, setelah dilepaskan, datang menghadap Rasulullah saw dengan membawa harta bendanya, seraya berkata: “Ya Rasulallah! Ini adalah harta benda kami, sedekahkanlah atas nama kami, dan mintakanlah ampunan bagi kami.” Rasulullah saw menjawab: “Aku tidak diperintah untuk menerima harta sedikitpun.” Maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S. 9 Bara-ah: 103) yang memerintahkan untuk menerima sedekah mereka dan mendoakan mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu jarir dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.

Dan diriwayatkan pula, seperti riwayat yang dikemukakan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah tersebut, oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair, adl-Dlahhak, Zaid bin Aslam dan lain-lain.

Jadi jelas bahwa secara asbabun nuzul, ayat itu turun tidak berkenaan dengan ‘amil. Namun para ulama telah menggunakan ayat tersebut sebagai dalil untuk memungut zakat. Dalam tafsir al-Misbah, karya Quraisy Syihab, tentang ayat ini dijelaskan bahwa ada ulama yang menghukumi wajib bagi para penguasa untuk memungut zakat kepada rakyatnya, tetapi mayoritas ulama—menurut tafsir tersebut—hanya menghukumi sunnat saja.[4]


Keimpulan: 

1)    Membayar zakat secara langsung kepada orang yang berhak (mustahik) tanpa melalui ‘amil hukumnya adalah boleh dan sah. Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk melarangnya apalagi mengharamkannya.
2)     Keberadaan ‘amil bukanlah suatu keharusan secara syariat. Oleh karena itu tidak boleh ada pihak yang mengharamkan orang yang ingin membayar zakat secara langsung kepada mustahik dengan alasan supaya ‘amil tetap eksis (ada).
Jika membayar zakat lewat ‘amil dipandang lebih baik, maka yang boleh dilakukan adalah menganjurkannya dengan cara yang baik pula.
Demikianlah tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishowab...

*Selesai ditulis pada hari Senin, 11 Juli 2011 pkl 13.15. wib.




[1] K.H.Q Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul Latar belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alqur’an, Edisi II, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000), hlm. 278-279.

[2] Surat Bara-ah adalah nama lain dari surat at-Taubah.

[3] Ibid. hlm. 279.

[4] Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat langsung kepada tafsir al-Misbah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar